BerandaOpiniUtang di Negeri Bencana

Utang di Negeri Bencana

Oleh : Ibrahim (Pemerhati Sosial)

Hingga Mei 2013, utang Indonesia telah mencapai angka Rp2.036 triliun (Fitra Indonesia). Jika angka ini dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini yang diperkirakan mencapai angka 250 juta jiwa, maka masing-masing WNI (termasuk balita) menanggung utang sebesar Rp8 juta.

Bank dunia  dan Asian Development Bank termasuk pemberi utang terbanyak tahun 2012 hingga 2013.

Asal Muasal Utang Indonesia

Masa ORBA adalah salah satu babak sejarah yang paling banyak meninggalkan sejarah yang tak jelas serta masalah yang tak terselesaikan, salah satunya adalah UTANG NEGARA.

Menurut laporan (Global development finance, 2000) Bank Dunia mengkategorikan Indonesia sebagai “Severely indebted low income country” yakni suatu kategori yang di berikan kepada negara-negara termiskin di dunia semisal Mali, Malawi dan Ethopia.

Tahun 1968 Indonesia meminjam dana kepada bank dunia sekitar USD 25 miliar untuk 278 proyek di sektor pertanian dan perkebunan, energi dan industri, SDM, infrastruktur dan lain-lain. Bantuan ini di ikuti pula dengan persyaratan restrukrisasi kebijakan ekonomi yang meliputi devaluasi nilai Rupiah, penundaan subsidi dan pengetatan anggaran belanja negara.

Selama 30 tahun (1969-1999) rezim Suharto telah meminjam dana dari Bank Dunia senilai USD27 Miliar atau sekitar USD 900 juta per tahunnya. Sampai akhir tahun 2005, utang negara telah mencapai USD 214.565 miliar (Kompas, 12/05).

Gurita Utang Bank Dunia pada Negara–Negara Miskin

Bank dunia dan IMF didirikan pada tahun 1944 dalam konferensi Bretton dengan tujuan orisinilnya sebagai penyedia dana bagi rekonstruksi negara-negara Eropa pasca perang dunia ke-II.

Namun setelah mendanai 4 negara di Eropa barat, Marshall Plan (AS) dengan cepat mengalihkan Bank Dunia ke negara-negara yang kurang berkembang.

Chili adalah klien pertama Bank Dunia sejak saat itu, dan Bank Dunia telah meminjamkan lebih dari USD500 miliar pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, (Infid, 2006).

Saat ini kelompok Bank Dunia (World Bank Group) terdiri atas 5 badan terpisah yakni IBRD, IFC, IDA, 0ICSID dan MIGA.

IBRD dan IDA adalah lembaga penyedia dana bagi pemerintah yang berdaulat, meskipun merupakan badan terpisah, IBRD dan IDA sepenuhnya merupakan institusi-institusi yang terintegrasi, mereka memiliki staf dan kantor pusat yang sama. Namun demikian IBRD dan IDA mempunyai klien yang berbeda yakni, IBRD memberikan pinjaman terutama kepada negara-negara berpendapatan menengah dengan nilai pasar, sedangkan IDA meminjamkan dana bagi negara-negara miskin (BIC 2006).

 

Utang dan Pendidikan

Fenomena utang adalah salah satu faktor utama penyebab keterpurukan pendidikan di negara kita. Kebijakan pemerintah yang mendorong liberalisasi pendidikan tersirat dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yaitu upaya pelepasan tanggungjawab negara dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun secara gratis dan bermutu .

Undang-undang ini memiliki substansi mendua (ambigu) dimana satu sisi sangat menonjolkan semangat privatisasi di sisi lain memperkuat pemenuhan hak pendidikan dasar 9 tahun secara gratis dan bermutu.

Semangat privatisasi jelas dapat di lihat di UU yang mengamanatkan adanya rancangan undang-undang (RUU) badan hukum pendidikan (BHP) yang merupakan bentuk privatisasi pendidikan. Ini berarti Negara melepaskan tanggungjawabnya terhadap dunia pendidikan yang kemudian dilimpahkan  kepada masyarakat dan pihak swasta. Hal ini disinyalir akibat intervensi lembaga-lembaga donor internasional termasuk bank dunia, IMF dan ADB.

Indonesia masih mengalokasikan APBN-nya 30-40% untuk pembayaran utang luar negeri, sehingga alokasi dana 20% untuk sektor pendidikan sangat sulit dipenuhi.

Utang dan Bencana Ekologis

Sebagai Negara tercepat dalam laju deforestasi dan kehancuran lingkungan, Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana alam. Tercacat Ratusan Ribu jiwa yang telah melayang akibat dari bencana alam yang terjadi dalam 5 tahun terakhir.

Permasalahan yang muncul saat ini adalah upaya signifikan untuk mengurangi bencana alam akibat perbuatan manusia, dan strategi preventif pengurangan resiko bencana (disaster risk management) atau metode lain seperti system peringatan dini (early warning system).

Disamping itu, pasca bencana kita juga diharuskan untuk melakukan pengelolaan dampak bencana (disaster management) serta tahapan rehabilitasi pasca bencana (recovery). Tentunya dengan kuantitas dan kualitas bencana yang semakin menjadi-jadi, maka disini permasalahan timbul, dari mana mendapatkan dana untuk membiayai semua itu?

Tolak Program-Program Utang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang sudah sangat bergantung dengan utang. Tiap tahun penyusunan APBN harus mengikutkan perhitungan pembayaran cicilan pokok beserta bunga utang.

Tiap tahunnya pula, program-program yang berumber dari utang negara terus dipromosikan oleh semua pihak, tak ketinggalan pemerintah daerah.

Proyek PPK, PDM DKE, P2KP, dan IDT semuanya dibiayai dari utang (Bank Dunia, JBIC, dan ADB). Begitupun PNPM yang jika dihitung secara cermat hanya membantu pemerintah dalam menumpuk utang-utangnya.

Fakta dilapangan dan statistik membuktikan angka kemiskinan tidak pernah berkurang.  Tahun 2008 saja PNPM Mandiri menghabiskan utang sebesar USD 400 juta (Loan Agreement No. 7504-10) dan di tahun 2011 sebesar Rp2,5 triliun.

Program-program utang ini disinyalir merupakan salah satu produk lembaga penyedia dana (IFIs – International Financial Instutions) memuluskan langkah jeratan terhadap Negara-negara miskin dan berkembang.

Jika dianalisa, kecenderungan program-program yang berasal dari lembaga donor tersebut hanya menjadi obyek proyek di daerah-daerah. Bahkan disinyalir menjadi lahan bagi-bagi uang dan korupsi.  ()

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News