Kabupaten Tana Toraja sebenarnya menyimpan begitu banyak potensi wisata. Bukan hanya wisata budaya, seperti yang sudah terkenal selama ini, akan tetapi ada juga potensi wisata landscape, agrowisata, wisata rohani, dan wisata sejarah.
Untuk potensi wisata sejarah maka, selain benteng peninggalan perang nasional yang sudah dikenal seperti Benteng Pongtiku, terdapat juga benteng-benteng pertahanan yang dibangun oleh suku Toraja zaman dahulu kala untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Benteng-benteng itu dibangun saat terjadinya perang suku, maupun perang melawan tentara kerajaan Bone maupun Enrekang.
Untuk menelusuri keberadaan benteng-benteng tersebut, Elis Mangesa, reporter luwuraya.com, mengunjungi dua lokasi yang masih terdapat sisa-sisa bangunan benteng. Dua lokasi ini, masing-masing di objek wisata Tengan, tepatnya di bawah bukit Kandora kecamatan Mengkendek dan Benteng Pertahanan Silanan yang bernama Tangdi Rompo di puncak bukit batu Silanan, kecamatan Gandang Batu Silanan, Jumat (27/1/12) siang tadi.
Dari sisi struktur bangunan, kedua benteng tersebut memiliki kemiripan, yakni terbuat dari batu-batu gunung yang asli dan disusun rapi mengikuti kemiringan lereng yang terdapat juga beberapa lubang di sisi benteng, yang diperkirakan digunakan untuk mengintai keberadaan musuh dan bisa juga digunakan untuk mulut senjata meriam. Dari kejauhan pun, sisa-sisa benteng terlihat seperti benteng raksasa di Cina, yang bentuknya juga berkelok-kelok mengikuti kemiringan lereng.
Cuma bedanya, lebar susunan batu di benteng Tangdi Rompo Silanan dan Tengan tidak terlalu lebar, hanya sekitar satu hingga 1,5 meter, dan di bagian depan benteng terdapat pintu gerbang, yang juga terbuat dari batu gunung, dengan pintu yang tidak terlalu lebar, juga tidak terlalu tinggi.
Kepala Lembang Silanan, Marthen Galigo menceritakan bahwa benteng-benteng ini digunakan masyarakat Silanan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, baik saat perang antar suku di Toraja maupun perang-perang melawan infiltrasi pasukan dari luar Toraja. Usia benteng Tangdi Rompo Silanan, diperkirakan mencapai ratusan tahun.
“Memang kita belum bisa pastikan berapa usia sebenarnya benteng batu ini, tetapi kalau dihitung berdasarkan silsilah dan turunan yang ada di Silanan ini, usia benteng ini sudah ratusan tahun,” kata Marthen.
Beda dengan situs benteng Tengan di Kandora yang sudah memiliki akses jalan masuk, benteng Tangdi Rompo Silanan belum memiliki akses untuk itu. Apalagi lokasi benteng ini berada di puncak bukit dengan ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut.
Kalau pun ada, hanya jalan setapak yang dibuat oleh pendudukan setempat, maupun para pecinta alam yang ingin berkemah atau melakukan aktivitas mendaki gunung di tempat itu.
“Inilah yang menjadi masalah kita, sebab sampai saat ini belum ada akses jalan menuju ke benteng ini. Padahal sudah banyak orang yang mengunjungi tempat ini,” sesal pensiunan TNI yang sudah menjabat Kepala Lembang Silanan selama sepuluh tahun ini atau dua periode berturut-turut.
Padahal, menurut Marthen, selain wisata benteng ini, Silanan memiliki puluhan daya tarik wisata yang bisa menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke daerah ini. Dari atas bukit dimana terdapat benteng Tangdi Rompo ini, pemandangan alam dari segala sisi memang sangat menarik.
Konon juga, jika suasana lagi cerah, daerah Pinrang, Sidrap, sampai kota Pare-Pare bisa dilihat dari tempat ini. Selain situs perkampungan tua Silanan dan benteng Tangdi Rompo, Silanan juga masih menyimpan beberapa daya tarik wisata lain, seperti sumur tua (biasa disebut sumur adat oleh warga setempat).
Sumur yang terletak di dekat Simbuang (menhir) dan tempat pelaksanaan upacara adat ini, usianya diperkirakan sama dengan usia perkampungan adat tua Silanan.
Menurut literatur, Silanan mulai dihuni oleh manusia diperkirakan sekitar 947 tahun yang lalu. “Ini sudah melalui penelitian arkeolog yang berasal dari Kanada dan Jerman. Hasil penelitian itu mereka sampaikan kepada kami beberapa waktu lalu,” jelas Ambe’ Rante, warga tongkonan Silanan.
Sumur adat ini, kata Ambe’ Rante, tidak pernah kering meskipun wilayah Toraja dan sekitarnya dilanda musim kemarau panjang. Saat ditengok wartawan kemarin, sumur yang berada di tengah-tengah perkebunan kopi milik warga ini, memang cukup aneh. Airnya muncul begitu saja dari dalam tanah. Di lokasi sumur ini memang sudah dipasangi pondasi oleh warga. Namun air yang berasal dari sumur ini kembali mengalir ke dalam tanah dan baru muncul atau mengalir ke luar di dekat jalan poros Silanan, sekitar 50 meter dari lokasi sumur.
“Dari dulu warga dari tongkonan sini, juga warga di sekitar ini menggunakan air dari sumur itu untuk seluruh keperluan rumah tangga,” kata Ambe’ Rante.
Ditanya, apakah sumur ini mengandung unsur magis untuk menyembuhkan penyakit atau ada hal lainnya? Ambe’ Rante hanya menyambutnya dengan senyum.
“Tidak, setahu saya tidak ada seperti itu. Hanya airnya saja yang tidak mengandung kapur dan tidak berwarna sehingga sangat layak dikonsumsi oleh masyarakat sekitar dan bahkan saat ini air sumur tersebut sudah banyak datang di ambil orang dari Kota untuk di jadikan kebutuhan untuk minum apalagi kalau saat musim kemarau.(lis/ar)