KALAU anda ditawari perjalanan ke luar negeri, mungkin India menjadi pilihan yang kesekian. Berbeda dengan Ilham Andi Hafid. Baginya India merupakan daerah yang diimpikannya sejak kecil. Tak perlu menunggu tawaran, Ilham yang penyiar radio Makara Palopo, justru bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya ke India. Daeng Saleh atau Don Bachchan, begitu namanya dikenal di Radio tempatnya mengasuh acara Makara Bollywood, akhirnya mewujudkan impiannya berkelana ke India. Sekitar 30 Malam Daeng saleh berada di Negara berpenduduk nomor dua di dunia itu. Berikut laporannya sebagaimana diungkapkan kepada luwuraya.com, dengan gaya bertutur.
MODAL nekad, boleh jadi seperti itu penilaian banyak orang terhadap saya. Dengan tabungan pas-pasan ditambah sumbangan sukarela fans acara yang saya asuh di radio Makara. Akhirnya membulatkan tekad saya untuk ke India.
19 November 2011, Para fans melepas keberangkatan saya ke Makassar. Itu karena segala persiapan termasuk sebelumnya memburu tiket promo dari Asia Air, sudah saya peroleh. 21 November 2011 pertama kali saya menginjakkan kaki di Bandara Internasional Chatrapati Shivaji, Mumbai.
Itu, setelah menempuh perjalanan tujuh jam dari Kualalumpur. Tiba pada pukul 23.30 waktu di jam tangan yang kupakai dari Palopo. Tak pernah kubayangkan, akhirnya aku menjadi salah satu turis dari Indonesia.
Inilah perjalananku yang pertama ke luar negeri. Campur aduk perasaan ini, senang, haru dan tentu saja tetap cemas.Maklum baru kali ini saya meninggalkan negriku tercinta hingga ribuan mil.
Saya mungkin perlu menceritakan sedikit latar belakang kecintaanku terhadap semua hal berbau India. Dimulai sejak dibangku SD, saya selalu menyempatkan nonton Film India. Saya bahkan tak pernah melewatkan satu Film India pun lolos dari tontonanku. Bahkan diantaranya, ada Film yang kotonton hingga beberapa kali, hingga lagu-lagunya kuhafal.
Kebiasaan ini terbawa hingga SMP dan SMA. Dinding kamarku saja berdindingkan koleksi kaset lagu India. Kebanggaanku saat itu, aku sempat korespondensi dengan Amitha Bachan, salah satu aktor tenar India yang kukagumi.
Bahkan begitu fanatisnya saya terhadap hal yang berbau India, ketika remaja saya berobsesi memperistrikan orang India. Dan itu terkabul karena istriku, sekarang ini adalah blasteran India. Begitulah sedikit latar belakang saya terkait kecintaan terhadap India.
Kembali ke perjalanan saya ke India. Setibanya di Bandara, aku pun bergegas mencari hotel terdekat. Tak sulit mencari hotel di Mumbai, apalagi bandaranya berada di pusat kota. Akhirnya saya mendapat hotel yang tarifnya 250 rupee, kalau dirupiahkan, sekitar Rp400 ribu per malam.
Keesokan harinya saya mulai menelusuri Kota Mumbai, hingga ke sudut kotanya. Kesan saya, Kota ini begitu terang benderang bila malam hari. Benar-benar boros cahaya. Maklum, listriknya memakai tenaga Nuklir yang memang murah. Kota ini seolah tak pernah tidur.
Memasuki malam kedua nginap di hotel itu, tidur malam mulai terganggu dengan ketukan di pintu kamar. Rupanya pelakunya adalah PSK yang menawarkan jasa ‘selimut malam’. Malam ketiga, masih seperti itu, hingga aku teringat perlakuan kriminal ala film bollywood.
Saya ngeri membayangkan karena boleh jadi PSK menganggap saya sebagai turis yang berduit. Selain ngeri membayangkan prostitusinya, saya juga ngeri membayangkan kejahatan ala mafia yang erat hubungannya dengan prostitusi. Ada satu hal yang saya cemaskan.
Bahasa Inggrisku nihil. Bahasa hindi juga pas-pasan. Terbayang kalau terjadi sesuatu bagaimana saya harus berkomunikasi. Seandainya mau bersabar tiga bulan belajar bahasa Inggris sebelum ke India, mungkin tak perlu secemas ini.
Tak tahan dengan gangguan ketukan pintu itu. Malam itu saya checout meninggalkan di hotelperkampungan di Mumbai bernama Kurla. Dari referensi dari film India, di daerah ini terdapat markas jamaah Tablig.
Bisa disebutkan markas terbesar jamaah tablig di Mumbai. Akhirnya saya memutuskan mencari tempat itu. Masalahnya , saat meninggalkan hotel , waktu menunjukkan pukul 12.00 malam. Saya lalu menumpang bajaj ,salah satu kendaraan khas di sana. Repotnya tidak semua orang di sana mengenal markas jamaah tablig itu.
Termasuk si sopir bajaj. Entahlah, pura-pura tidak tau atau memang tidak tahu. Dalam perjalanan di bajaj itu, rasa curiga saya justru muncul, karena menyodorkan saya rokok untuk saya isap. Bahkan terkesan memaksa untuk mengisap rokok lintingan sebesar tusuk bakso itu.
Lagi-lagi saya teringat di Film India, rokok seperti ini banyak digambarkan dibubuhi obat bius. Jangan-jangan dia berpikir, di tas saya banyak uang, lalu dia berniat memperdaya saya.
Saya mengisap sekenanya, lalu saya biarkan rokok itu mati sendiri. Tentu saja saya tak terpengaruh dengan reaksi rokok itu, karena tidak mengisapnya dengan sungguh-sungguh, hingga turun di tempat tujuan yakni Kurla.
Menelusuri Kurla dengan berjalan kaki mencari masjid yang saya anggap daerah yang aman untuk istirahat. Saat mendatangi dua masjid, ternyata tidak semua jamaah masjid mau menerima saya menginap. Boleh jadi penjaga masjid curiga. Saya malah diusir, dia mangumpat dalam bahasa setempat, saya dianggap orang gila.
Pukul 01.00 dinihari, mata seolah tak mau kompromi. Tapi saya masih melawan rasa ngantuk itu. Saya berjalan beratus meter karena bajaj sudah tidak ada. Saya sempat mau mencari hotel lain untuk menginap.
Bahkan, saya memutuskan untuk tidur di emper toko saja. Sayangnya, keadaan tidak memungkinkan karena emper toko sudah dijejali para gelandangan dan kawanan anjing. Dalam kegalauan itu, ada sekelompok anak muda yang begadang sambil bernyanyi dan bermain gitar.
Saya mendekati dan bergabung. Beberapa saat kemudian saya ikut bernyanyi bersama mereka. Mereka terlihat sangat kagum dengan kemampuan saya menyanyikan sejumlah lagu India. Singkatnya, saya larut dengan mereka dan bernyanyi bersama. Mereka terkagum-kagum karena semua lagu yang diperdengarkan lewat HPnya, kulalap habis.
Hingga mereka menyuguhkan saya minuman keras. Mungkin sejenis tuak India. Saya hanya mencicipinya sedikit, karena kuatir mereka tersinggung. Saya diperlakukan sedikit istimewa berkat menguasai lagu-lagu mereka.
Dari kekaguman itu lalu terjadi komunikasi, dan bertanya hendak kemana. Salah seorang dari mereka yang dipanggil Caca (orang yang dituakan) juga menanyakan hal itu. Saya lalu menceritakan bahwa tujuan saya ke Masjid tempat jamaah tablig berkumpul. Caca lalu menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke Masjid Kurla dimaksud.
Saya lalu membonceng di sepeda motornya. Tak begitu lama di depan terlihat ada masjid yang di halamannya ada kolam, saya menjadi lega. karena saya merasa tak salah lagi. Inilah Masjid yang saya maksud.
Saya pun lalu berwudhu, lalu shalat dua rakaat sebagai rasa syukur saya sudah selamat berada di tempat yang benar. Namun, tak berapa lama seorang jamaah yang mungkin baru saja menunaikan shalat malam dan menyapa saya.
“Khon hai” dalam bahasa India berarti siapa kau? komunikasi pun bersambut karena saya menjelaskan bahwa saya turis dari Indonesia mau menginap semalam, dan berjanji meninggalkan Masjid itu keesokan harinya. Saya pun diizinkan, dengan catatan saya hanya boleh menginap malam itu saja.
Lalu saya pun dipersilahkan ke lantai dua masjid itu. Setelah shalat subuh, ternyata jamaah setempat memusyawarahkan saya. Kemudian saya diwawancarai. Saya pun menceritakan bahwa saya sebenarnya turis bermaksud mengunjungi tempat tempat wisata di India tetapi entah mengapa saya terpanggil juga untuk mengunjungi markas tablig di Nizamudin, Newdelhi.
Mereka antusias mendengar penjelasan saya, mereka seperti tergugah dan akhirnya diputuskan seorang dari jamaah ditugasi mengurusi tiket saya untuk berangkat ke New Delhi. Alhamdulillah, semua kebutuhan seperti pakaian dan tiket difasilitasi oleh jamaah tersebut. (bersambung)