BerandaInfo AndaMenengok Sisi Lain Kelurahan Battang Barat

Menengok Sisi Lain Kelurahan Battang Barat

Kelurahan Battang Barat terbentuk berdasarkan Perda Nomor 3 tahun 2005, memang termasuk salah satu wilayah yang letak geografisnya terjauh dari pusat Kota Palopo,yakni 26 Km. Jika menggunakan kendaraan motor roda dua  setidaknya kita butuh waktu perjalanan sekitar 40 menit.

Mendengar nama Kelurahan Battang Barat, oleh sebagian masyarakat Kota Palopo tentu tidak asing. Setidaknya dengan mendengar nama kelurahan tersebut akan terlintas dalam benak dan pikiran bahwa kelurahan tersebut adalah daerah pegunungan yang kemajuan pembangunannya masih tertinggal, atau bahkan daerah yang identik dengan ancaman bencana longsor.

Namun demikian dibalik pandangan tersebut, pada dasarnya banyak hal yang menarik yang perlu menjadi perhatian dan bahkan menjadi perenungan semua pihak. Tulisan sederhana ini akan mengungkap separuh sisi Lain Battang Barat yang diharapkan dapat menjadi perhatian kita bersama.

Semangat Pendidikan

Di Kelurahan Battang Barat, hanya terdapat satu unit sekolah yakni SD 87 Paredean yang terletak di Km 21 Paredean.  Meski pada dasarnya kondisi sekolah tersebut cukup representatif, tapi satu hal yang menarik yakni bahwa sejumlah anak-anak sekolah yang juga merupakan generasi penerus Kota Palopo justru menikmati suasana pendidikan yang sangat jauh beda dengan teman-teman sebayanya yang berada di pusat Kota Palopo.

Anak-anak di Battang Barat yang baru duduk dibangku kelas 1 SD pun harus rela bangun lebih subuh jika hendak berangkat ke sekolah. Betapa tidak, jarak sekolah dengan rumah mereka sangat jauh, meski pemerintah daerah telah menyiapkan kendaraan operasional bus sekolah, namun tidak jarang anak-anak belia battang barat harus rela berpeluh keringat melangkahkan kaki ke sekolah dengan menempuh jarak berkilometer, bahkan ada yang jalan kaki pulang pergi sekolah sejauh 10 kilometer.

Dede, seorang siswi kelas 2 sekolah dasar, salah satu contohnya, ketika penulis berdialog dengannya mengungkapkan bahwa dirinya terkadang harus berangkat dari rumahnya di Kawasan puncak yang berjarak sekitar 6 km dari sekolahnya dengan berjalan kaki sebelum jam 6 pagi, agar tidak terlambat jam pelajaran pertama.

“Saya lakukan ini pak, kalau bus sekolah berhalangan,” ungkap dede yang mengaku tidak merasa takut menempuh perjalanan di tengah hutan belantara.

Lain lagi cerita tentang Ita, siswi kelas 2 SD ini juga harus berjibaku dengan lika-liku jalan dan juram yang terjal ketika harus pulang sekolah. Kebetulan Ita pulang jam 10 pagi dan saat itu Bus sekolah belum beroperasi, Ita pun rela bersama rekan-rekannya berjalan pulang ke kawasan puncak dengan cara mencari jalan pintas.

“Kami lewat jalan pintas pak, yang dibuat oleh pekebun biar cepat sampai rumah, dan  biasa kami mendapati ular di tengah perjalanan pulang, meski takut namun kami tetap semangat pak,” ungkap Ita seraya menambahkan jika mereka kelelahan di jalan terkadang singgah mencari buah-buahan seperti rambután dan mangga untuk dimakan.

Ita juga menuturkan bahwa meski di daerahnya terdapat sebuah masjid yang berdiri sejak tahun 1989, yakni masjid Sidratul Muntaha, namun menurut Ita selama ini ia dan teman-temannya hanya bisa belajar mengaji di rumah masing-masing.

“Tidak ada guru ngaji pak, pak imam masjid sudah tua, dan sudah tidak sanggup lagi mengajar mengaji,” ujarnya.

Cerita Indah lain lagi, siswi kelas 6 SD Paredean yang bermukim ini di Lingkungan Tanete ini meski hampir tiap hari berjalan kaki dengan jarak 2 kilometer namun ia tidak pernah putus asa, siswi yang bercita-cita menjadi dokter tersebut bercerita jika ingin berangkat ke sekolah lebih baik naik sepeda, tapi lebih baik uang untuk beli sepeda dipakai untuk biaya keperluan sekolah saja.

“Lagi pula kalau naik sepeda capek pak, karena jalannya menanjak “ ungkap indah yang diamini oleh teman-temannya yang ketika pulang sekolah ‘mengojek’ bersama penulis.

Memang anak-anak di Battang Barat kebanyakan jika pulang sekolah, tak sungkan-sungkan meminta pertolongan kepada pengendara yang melintas untuk mengantar meraka pulang jika kecapaian. Namun penulis terkadang heran kepada sejumlah pengendara yang tidak mau membantu siswa-siswi tersebut, sepertinya mereka tidak punya rasa iba dan kepedulian sedikit pun terhadap anak-anak tersebut.

Terkadang jika siswa(i) tersebut belum mendapat tumpangan kendaraan, mereka pun mengisi waktu dengan bermain di salah satu rumah warga yang akrab disapa Abba Dian. Di Battang Barat,memang hanya SD Paredean tempat anak-anak menempuh pendidikan, berbeda dengan siswa SMP dan SMA yang juga harus menempuh jarak yang cukup jauh ke pusat Kota Palopo untuk bersekolah.

Sementara anak usia dini selama ini juga belum menikmati pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak, karena di daerah ini memang tidak tersedia.

“Padahal banyak anak-anak usia dini yang butuh perhatian pendidikan seperti itu,” ungkap salah seorang warga yang mengatakan bahwa sebenarnya hal itu pernah diusulkan melalui Musrenbang namun sampai sekarang belum terwujud.

Menurut salah seorang warga, semenjak dahulu kala, di daerah dataran tinggi ini hanya terdapat satu sekolah, pada tahun 1960-an pernah didirikan SR (Sekolah Rakyat) di lingkungan Tanete (daerah bekas longsor tahun 2009). Meski sekolah di pegunungan, namun cita-cita pelajar battang barat betul-betul setinggi puncak, ada yang ingin jadi dokter, polisi, tentara dan bahkan ada yang ingin jadi pilot, semoga dapat tercapai.

Pesona Sepanjang Jalan

Bagi mereka yang terbiasa melalui dan melintas di jalur Battang Barat, tentu tantangan berupa tanjakan, tikungan, juram dan turunan bukan lagi menjadi sebuah hambatan, melainkan sebuah petualangan yang mengasyikkan.

Jalanan berkelok dengan tikungan kurang lebih 50 adalah merupakan suatu tantangan untuk memacu adrenalin pengendara. Ketika kita menuju battang barat  memang butuh semangat dan kehati-hatian berkendaraan mengingat banyaknya tikungan dan tanjakan serta juram yang dalam, namun satu yang menarik yakni jika kita dari arah battang barat menuju Kota Palopo, anda cukup melajukan kendaraan anda tanpa harus menyalakan mesin, makadengan sendirinya kendaraan melaju sampai ditapal batas kelurahan Battang-battang Barat  di lingkungan Batutongkong atau sepanjang 11 kilometer.

Selain itu, rimbunan pepohonan sepanjang jalan pun bahkan bisa jadi pelipur mata.  Seorang tokoh pemuda Battang Barat, Mirdat yang penulis temui di Tanete baru-baru ini menuturkan bahwa perjalanan sepanjang jalur Battang Barat tak ubahnya sebagai terapi mata yang sangat efektif.

Penuturan singkat dari Mirdat tersebut mengingatkan penulis kepada salah satu pesan dan nasihat orang tua kami semasa kecil yang tak jenuh mengingatkan kepada penulis agar setelah bangun tidur dan shalat subuh bahwa salah satu resep mujarab untuk menjaga kesehatan mata adalah dengan melihat dedaunan hijau di pagi hari, dan memang percaya atau pun tidak dengan resep itu jugalah yang membuat kedua mata orang tua penulis sampai saat ini masih terbilang sehat dan belum menggunakan alat bantu, kacamata.

Jadi ke Battang Barat sama saja dengan memanjakan mata dengan panorama yang indah dan melatih tubuh untuk merasakan perubahan cuaca. Bagi sebagian orang, mungkin perjalanan ke Battang Barat sangat menjenuhkan atau bahkan melelahkan, padahal tidaklah demikian.

Potensi dan kekayaan alam sepanjang jalan battang barat adalah obat penyejuk hati dan sekaligus menyadarkan kita betapa kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa tidak tertandingi. Hanya saja, selama ini perhatian dan pengelolaan kawasan potensi alam di Battang Barat, masih jauh dari ‘lirikan’ pihak terkait.

Padahal jika potensi itu dapat digarap dan dikelolah dengan baik bukan tidak mungkin akan mendatangkan manfaat tersendiri bagi masyarakat setempat dan juga bagi Kota Palopo. Siapa tak kenal kawasan permandian Bambalu? Kawasan yang hanya ramai sepekan sekali tersebut selama ini hanya dijadikan tempat permandian sekaligus tempat memadu kasih sejumlah muda-mudi.

Kawasan Bambalu, sebenarnya punya nilai jual tinggi, bukan hanya potensi airnya yang melimpah melainkan daya tarik dan eksotis pemandangannya yang jarang dijumpai di daerah lain. Ketenaran Bambalu, bukan hanya terdengar dikuping masyarakat Kota Palopo, tapi hampir se-Tana Luwu, bahkan beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2008, Direktur Manajemen Dagadu Djokdja yang mengelolah bisnis kaus merek Dagadu asal Jogjakarta secara khusus meminta diantar ke kawasan tersebut untuk diekspose melalui desain baju yang dibuatnya.

Namun sayang lagi-lagi ketenaran tersebut belum mengusik dan menyentuh pihak terkait, padahal disinilah letak agro wisata yang sesungguhnya. Beberapa bulan kedepan, masyarakat Kota Palopo akan menikmati sejuknya air Bambalu melalui upaya ekspansi yang dilakukan oleh PDAM Palopo, jadi tidaklah bijak jika Battang Barat yang selama ini kaya akan potensi alam tidak mendapat perhatian pembangunan secara khusus.

Bukan Bambalu saja yang punya nilai jual tinggi, Batu Papan yang membentang luas di Kawasan Tanete, atau 3 kilometer arah barat Bambalu, juga tak kalah menariknya.  Batu papan yang muncul akibat dampak bencana longsor tahun 2009 tersebut, tepat berada disisi kiri jalan ketika kita melintas menuju puncak.  Tak jarang pengendara yang melintas, menyempatkan berfoto ria mengabadikan keindahan Batu papan yang diatasnya mengalir air pegunungan yang sangat sejuk.

Tak jauh dari Bambalu, di Battang Barat juga terdapat peninggalan sejarah berupa banker ( tempat persembunyian ) dan gua yang digunakan pada masa perjuangan beberapa tahun silam. Dua Banker yang masih berdiri kokoh tersebut masih terlihat jelas di dua tempat berbeda yakni di Km 29 dan km 30.

Meski beriri kokoh, namun hamparan lumut di banker tersebut menggambarkan secara jelas bahwa banker tersebut tidak terurus dan tidak terjamah dengan baik, padahal bangunan sederhana tersebut dapat menjadi wahana pembelajaran bagi siapa saja yang ingin menelisik lebih jauh tentang sejarah perjuangan di kawasan Battang Barat pada masa lampau.

Selain itu, di daerah kawasan lembah kabut, tepatnya di Km 32 terdapat sebuah air pancuran yang oleh masyarakat setempat diberi nama Tang Mi Basse. Air pancuran yang dialirkan dengan bambu ala kadarnya tersebut berada di sisi kiri jalan ketika menuju Toraja Utara. Uniknya air pancuran Tang Mi Basse tersebut dapat langsung diminum, sebab selain segar juga sangat steril.

Bahkan sebuah perusahaan air mineral dari Makassar telah pernah mengambil sampel air Tang Mi Basse, dan dinyatakan sangat steril. Sehingga tak heran jika sejumlah pengendara yang melintas di kawasan tersebut sengaja singgah untuk sekedar merasakan kesegaran airnya.

Pak Yunus misalnya, warga jalan Yos Sudarso Kota Palopo yang berprofesi sebagai penjual ikan (Pa`gandeng bale) tersebut menuturkan bahwa dirinya hampir tiap hari singgah di pancuran Tang Mi Basse untuk melepas lelah.

Kopi na Baje

Kurang lengkap rasanya jika anda ke Battang barat tanpa menyerut secangkir kopi atau menikmati baje khas paredean. 2 potensi ekonomi ini memang menjadi menú dan bahkan ciri khas tersendiri bagi masyakarat setempat.

Sayangnya kedua potensi ini belum dan bahkan tidak terkelolah dengan baik pula. Kopi misalnya, sebagaimana dituturkan oleh seorang tokoh masyarakat bahwa potensi tanaman kopi di Battang Barat sangat melimpah, namun tidak banyak lagi masyarakat yang mau dan berminat mengelolah kopi untuk diperjual belikan, karena pengelolaannya disamping butuh waktu yang lama, ketika dipanen dan dipasarkan pun harganya tidak sebanding dengan kerja keras masyarakat dalam mengelolah perkebunan kopi.

Tak heran jika sejumlah kebun kopi tinggal tak terurus, apalagi sebagian warga lebih memilih menjadi tukang batu di Kota Palopo mengingat pendapatannya juga menjanjikan.

“Disini pak, kopi robustanya sangat khas, kalau di TV ada iklan kopi yang mengatakan kopinya tidak bikin kembung, kopi dari Battang Barat juga demikian,” ungkap tokoh tersebut yang juga salah satu pengurus partai.

Memang, ketika penulis beberapa kali mencoba dan menikmati bukan secangkir tapi lebih dari 2 cangkir kopi, terbukti tidak menimbulkan kembung juga perih di lambung  sebagaimana kekhawatiran sebelumnya, namun demikian anda harus siap-siap begadang karena pengaruh zat kafeinnya, sebab pernah dalam sehari penulis menyerut 4 cangkir kopi sekaligus dan efeknya dahsyat mata penulis baru tertidur pada pukul 3 dini hari, dan alhamdulillah keesokan harinya bukannya  kapok minum kopi, justru ketagihan.

Meski sebagian kebun kopi tidak terurus sebagaimana mestinya, namun keinginan masyarakat dalam meningkatkan pengelolaan kebun kopi masih sangat tinggi, hanya itu tadi masalah harga dan kerja keras dalam mengelolah kebun yang tidak sebanding.

Bahkan dari penuturan warga, kopi Battang Barat akan lebih baik jika dikelolah seperti dengan metode kopi luwak, namun kendala masyarakat adalah untuk mendapatkan luwak itu sendiri belum kesampaian.

Sebagian masyarakat menginginkan agar pengelolaan kebun kopi dengan metode terkini perlu diupayakan agar potensi tersebut tidak menjadi mubazzir atau bahkan tinggal kenangan.

Sedangkan usaha kuliner baje khas paredean yang telah dilakoni masyarakat setempat sejak puluhan tahun silam, kini mulai sedikit terancam kelangsungan usahanya, betapa tidak para pedagang yang didominasi oleh kaum ibu-ibu tersebut masih mengalami sejumlah kendala dalam mengembangkan usaha tersebut menjadi home industri yang lebih maju.

Salah satu kendala utama ibu-ibu dalam mengembangkan usaha mereka adalah disamping ketersedian bahan baku yang terbatas dan harganya pun mulai melambung tinggi, membuat ibu-ibu ini sedikit mengurangi kualitas bahan bajenya, namun demikian ibu-ibu disini menjamin bahwa produk mereka tidak menggunakan bahan pengawet atau bahan pemanis tambahan seperti sarimanis.

“Baje yang kami buat memang kualitas bahannya tidak seperti dulu lagi karena bahannya serba dibeli, dulu bahannya mudah didapatkan didaerah kami tapi sekarang rata-rata didatangkan dari kota, makanya kami sering dapat semacam komplain dari pembeli,” tutur ibu Harina yang didampingi oleh sejumlah rekan-rekannya saat bincang-bincang dengan penulis.

Sementara itu, penjual lainnya Ibu Patawallah menambahkan bahwa yang sangat dibutuhkan pedagan baje saat ini adalah bantuan modal dari pemerintah, sebab selama ini pedagang baje hanya mengandalkan bantuan modal dari koperasi.

“Meski kami menyicil pinjaman koperasi sekitar Rp 4.000 per hari, namun itu masih sangat berat bagi kami pak, sebab hasil jualan kami juga masih terbatas, dan lebih kasian lagi pak jika penagih (debt collector) dari Koperasi sudah datang seringkali kami main kucing-kucingan kalau belum sempat membayar tagihan,” sebut ibu Patawallah.

Menurut para pedagang baje, jualan mereka baru terasa ramai jika menjelang  moment tahun baru, tapi jika hari-hari biasa paling hanya laku 2 sampai 5 bungkus saja itu pun para pedagang harus rela berjibaku mengerumuni setiap pengendara yang sempat berhenti depan kios mereka.

Ibu-ibu tersebut mengungkapkan bahwa meski usaha menjual baje memiliki tantangan dan hambatan tersendiri tapi mereka tetap melakoninya agar dapur rumah tetap mengepul, apalagi kebanyakan selama ini suami mereka belum memiliki pekerjaan tetap , dan tidak memiliki lahan kebun yang dapat diurus.

Selain kopi dan baje, bisnis lain yang juga perlu mendapat perhatian pihak terkait yakni budidaya tanaman anggrek. Potensi anggrek di Battang Barat sangat bagus, tanaman endemik tersebut banyak dijumpai disekitar lembah, namun demikian masyarakat lebih memilih mendatangkan bibit tanaman anggrek dari Tana Toraja, sebab warga khawatir mendapat teguran dari pihak kehutanan.

Ibu Makmur salah seorang pedagang anggrek mengisahkan bahwa anggrek yang dijajakan depan rumahnya lebih banyak didatangkan dari Toraja dan banyak diminati oleh pembeli. Biasanya tanaman anggrek Ibu Makmur dapat terjual antar 3 sampai 10 pot perhari, dengan taksiran harga 15 sampai 20 ribu per pot.

“Lumayan untuk nambah penghasilan pak,“ pungkasnya penuh senyum.

Rindu Cahaya Listrik dan sinyal handphone

Pembangunan di Kelurahan Battang Barat memang sedikit tertinggal jauh dari kemajuan peradaban sebagaimana yang dirasakan oleh kelurahan lainnya di Kota Palopo, salah satu contoh konkritnya adalah di daerah ini masih terdapat puluhan hingga hampir seratusan kepala keluarga yang belum menikmati energi listrik sebagai salah satu kebutuhan mendasar masyarakat.

Memang sebagian wilayah di kelurahan yang berpenduduk 1.117 orang ini telah menikmati temaran cahaya lampu yang bersumber dari energi listrik, namun sebagian besar diantaranya masih mengandalkan energi air ( PLTA ) yang dibangun secara swadaya, dan sebagian masyarakat lainnya justru masih harus rela dan bersabar merogoh kocek lebih dalam hanya untuk membiayai genset mereka demi mendapatkan cahaya.

Saat ini jaringan listrik di kelurahan Battang Barat baru menjangkau sampai wilayah paredean, dan wilayah yang belum tersentuh sama sekali yakni tanete dan kawasan puncak, dua daerah ini banyak dihuni masyarakat yang sangat rindu dan butuh energi listrik.

Betapa tidak, selama ini warga yang menggunakan genset untuk keperluan sehari-hari harus berkorban antara 1 sampai dengan 1,5 juta per bulan hanya untuk membiayai bahan bakar gensetnya, hanya untuk pemakaiannya terbatas, sehingga tidak maksimal penggunannya, tapi masyarakat yang menggunakan genset senantiasa berupaya menggunakan seefektif dan sehemat mungkin agar pengeluaran rumah tangga tidak terlalu membengkak.

Kerinduan masyarakat Battang Barat terhadap listrik bukan sekedar untuk meringankan beban biaya rumah tangga, tapi juga untuk membantu kemajuan masa depan generasi battang barat yang butuh ‘teman belajar’  dimalam hari, termasuk untuk memenuhi keperluan ibadah sehari-hari.

“Disini pak, kalau mau shalat jumat, masjid hanya menggunakan aki milik pak imam, habis shalat aki dimatikan biar hemat “ ungkap Alwi salah seorang pemuda Battang Barat yang bermukim di km 27 puncak.

Meski saat ini, harapan masyarakat Battang Barat akan ketersediaan energi listrik sudah mulai menemui titik terang, namun demikian semoga harapan tersebut bukan sekedara isapan jempol semata dan dapat segera terealisasi sehingga kehidupan masyarakat di daerah ini semakin menggeliat.

Selain listrik, masyarakat Battang Barat juga merindukan kenyamanan berkomunikasi melalui sarana telepon genggam ( handphone), selama ini sinyal handpdone di daerah ini belum terakses dengan baik oleh masyarakat, karena itu masyarakat sangat berharap pihak terkait dapat membantu pembanguna BTS untuk memudahkan akses informasi dalam rangka mendukung kelancaran komunikasi masyarakat sekaligus untuk memberi peluang bagi warga untuk maju dan berkembang seperti daerah lainnya.

Di daerah ini memang seringkali kita mendapatkan sinyal meski hanya satu dua strip saja, sehingga bergerak sedikit saja sinyal bisa hilang begitu saja.

“Battang Barat memang masuk wilayah Kota Palopo, namun masih seperti desa tertinggal pak, masa` kota begini, sekarang kan lagi musim pilkada, kami berharap Walikota Palopo yang baru nantinya dapat memperhatikan ketersediaan jaringan listrik di Battang Barat” ujar Makmur yang bermukim di KM 30, kepada penulis ketika menceritakan betapa sulitnya masyarakat terhadap kebutuhan dasar listrik di Battang Barat.

Religiutas dan gender

Suatu hari ketika penulis hendak pulang ke Kota Palopo, seorang ibu menahan kendaraan motor kami dan hendak mengojek (menumpang). “Saya mau ke pesta pengantin pak di gereja Tabernakel, Paredean,” ungkapnya penuh harap.

Di motor sepanjang perjalanan ibu yang tidak sempat penulis tanyakan namanya tersebut berujar bahwa di daerah ini semangat keberagamaan dan toleransi antar pemeluk agama masih tinggi dan sikap saling menghargai juga demikian.

Ibu yang tampil dengan balutan jilbab tersebut juga menuturkan bahwa selama ini masyarakat di puncak butuh pembinaan dan penyuluhan agama berupa pembinaan majelis ta’lim serta pembinaan mengurus jenazah.

“Tidak pernah kami dibimbimbing yang seperti itu pak dari penyuluh agama,” ujarnya.

Selain pembinaan keagamaan, ibu-ibu di Battang Barat juga sangat butuh pembekalan skill, dalam rangka untuk membantu peningkatan pendapatan keluarga. “Ibu-ibu disini, butuh pelatihan keterampilan, biar kesibukannya tidak bertumpu pada urusan rumah tangga saja,” ungkap ibu tersebut seraya bercerita bahwa biasanya kaum ibu hanya mengisi waktu lowong dengan mengobrol saja.

Selain itu, penuturan imam masjid Sidratul Muntaha, Daali perlu menjadi perhatian dari PHBI, menurut bapak yang sudah puluh tahun bermukim di puncak ini, bahwa kalau shalat Jumat hanya beliau saja yang berinisiatif tampil di mimbar dengan modal buku khutbah jumat.

“Harusnya ada penceramah dari kota yang bergantian mengisi waktu disini saat jumat, termasuk bulan Ramadhán biar jamaah tidak jenuh, yang ada selama ini hanya saat Idul Fitri dan Idul Adha,” ungkap bapak tua yang sehari-harinya juga nyambi di kebun.

Ironisnya lagi karena imam masjid di daerah ini sama sekali tidak pernah menerima insentif sebagaimana yang dirasakan oleh imam masjid lainnya di Kota Palopo.

Di Battang Barat, terdapat 3 Buah Masjid, 1 Mushallah dan 2 gereja. Kehidupan masyarakat disini masih sangat kental dengan semangat kebersamaannya, meski berbeda keyakinan, ras dan golongan.

Masyarakat Battang Barat adalah gambaran masyarakat yang sangat humanis, ramah dan mudah beradaptasi dengan siapa pun, sikap keramah tamahan masyarakat Battang Barat adalah potensi besar dari sejumlah potensi lainnya yang ada di daerah ini.

Karena itu, setelah menyimak tulisan singkat ini, mudah-mudahan anggapan kita tentang Battang Barat sebagai daerah tertinggal tidak terlintas lagi dibenak kita, demikian juga mudah-mudahan tulisan ini dapat menggugah semangat kita untuk bersama-sama mendukung kemajuan peradaban dan pembangunan di daerah ini. Amin.

Oleh: Herawan S Tony

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News