Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) terkait Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Penjualan Minuman Beralkohol, yang saat ini sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu Utara (Lutra) menuai polemik di tengah masyarakat.
Hal itu terungkap dalam pertemuan yang dilaksanakan Pansus dengan sejumlah tokoh masyarakat Lutra, seperti tokoh agama, pemangku adat, pemerintah desa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Mahasiswa serta aparat kepolisian dan TNI yang dilaksanakan di ruang aspirasi Gedung DPRD Lutra, Jumat (6/9/13).
Silang pendapat diantara masyarakat terjadi terkait isi Ranperda Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Penjualan Minuman Beralkohol pada BAB VI, Pasal 12, Ayat 1 tentang Kegiatan yang dilarang dengan bunyi, Minuman beralkohol jenis Ballo dilarang di konsumsi, diedarkan dan dijual di dalam daerah.
Sejumlah kalangan mendukung Pasal 12 ayat 1 tersebut, namun tidak sedikit pula elemen masyarakat yang tidak sepakat dengan bunyi pasal tersebut dan meminta agar pasal tersebut direvisi atau dihapus.
F Petrus, perwakilan dari warga suku Tana Toraja yang bermukin di Sabbang mengatakan untuk menghapus Pasal 12, Ayat 1 tentang Kegiatan yang dilarang dengan bunyi, Minuman beralkohol jenis Ballo dilarang di konsumsi, diedarkan dan dijual di dalam daerah, lantaran ia menilai keberadaan Ballo sudah turun temurun dan sulit untuk dihapuskan.
“Pasal 12, Ayat 1 tentang larangan konsumsi ballo perlu dihilangkan saja, karena sangat sulit menghilangkan ballo di Lutra, apalagi tidak semua yang konsumsi ballo melakukan keonaran. Bagi sebagian suku yang ada di Lutra, minuman tradisional Ballo sudah merupakan budaya dan minuman mereka sehari-hari, jadi tolong ditinjau ulang pasal tersebut dan kami sarankan cukup peredaran dan penjualan legalnya yang diatur,” tuturnya.
Menurut Petrus, malah sebagian orang menjadikan ballo sebagai obat dan berharap agar nantinya Perda tersebut tetap menghargai hak mereka sebagai warga negara yang butuh hidup dan hanya menafkai keluarganya dari membuat Ballo.
“Apalagi ballo juga belum diketahui kadar alkoholnya dan perlu diingat berapa banyak kepala keluarga yang menjadikan ballo sebagai mata pencaharian,” ungkapnya.
Sedang Pendeta Sumantri mengatakan pemerintah daerah jangan hanya taunya melarang ballo namun juga harus bisa memberikan solusi terhadap para produsen ballo dengan memberikan bantuan atau pembinaan terhadap mereka sebagai produsen akan tetapi diarahkan untuk membuat gula merah.
“Mungkin ada baiknya dilokalisasi saja agar mudah terpantau dan cepat ketahuan dan ditangkap bagi konsumen ballo yang berbuat onar. Selain itu juga perlu ada aturan jarak minimal-maksimal tempat penjualan minuman keras ke tempat ibadah,” ucapnya.
Sementar itu Saur Salaga dari Unsur LSM di Lutra mengatakan pemerintah harus lakukan lokalisasi terhadap peredaran Ballo dan tidak dikomersilkan secara luas.
“Selain itu perlu dilakukan pendataan terhadap masyarakat yang menjadi produsen ballo dan pemerintah berikan bantuan dan pembinaan agar mereka yang mengumpulkan getah aren tidak dijadikan ballo tapi bisa mereka jadikan gula merah untuk ia jual agar bisa nafkahi keluarganya,” paparnya.
Arief Abadi