Di bawah langit pagi yang menyelimuti Desa Kertoraharjo, Kecamatan Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur, semangat para perempuan Hindu tetap membara.
Balutan kebaya putih dan kain bermotif khas, menjadi bukti bahwa tradisi bukan sekadar warisan, tetapi juga jati diri.
Hari Saraswati, adalah hari suci ilmu pengetahuan dalam ajaran Hindu yang jatuh setiap 210 hari sekali menurut kalender Bali. Hari Saraswati menjadi momentum bagi ibu-ibu dari komunitas Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) untuk menunjukkan dedikasi mereka dalam merawat budaya.
Dalam sebuah pendopo terbuka dengan pilar-pilar hijau dan kuning yang mencerminkan keceriaan, mereka duduk dengan penuh perhatian.
Di hadapan mereka, seorang perempuan berusia paruh baya berbicara dengan penuh keyakinan, seakan menyampaikan pesan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus terus terjaga.
Di atas meja, berdiri megah sebuah gebogan, susunan buah dan hiasan janur yang menjadi simbol persembahan kepada Dewi Saraswati.
Nanas, apel, jeruk, dan berbagai buah tropis lainnya tersusun rapi, mencerminkan kelimpahan dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Di depannya, sebuah papan kecil bertuliskan “Satya Dharma” menegaskan nilai utama dalam perayaan ini: kebenaran dan pengabdian.
Di sela-sela perbincangan, ada momen-momen ketika peserta lain duduk dengan penuh perhatian, mengamati dan menyimak dengan serius.
Tak jauh dari pendopo, latar belakang pura yang megah dengan ukiran khas Bali semakin mempertegas suasana sakral perayaan ini.
Beberapa pria tampak berdiri di kejauhan, mengenakan pakaian adat lengkap dengan udeng di kepala mereka, menambah kesan bahwa seluruh komunitas ikut serta dalam perayaan yang bukan hanya milik perempuan, tetapi juga milik seluruh umat Hindu di desa tersebut.
Bagi mereka, Hari Saraswati bukan sekadar ritual, tetapi juga ajang pembelajaran, di mana ilmu bukan hanya didapat dari buku, tetapi juga dari interaksi, kreativitas, dan semangat kebersamaan.
Harmoni Tradisi dan Teknologi
“Kami ingin anak-anak memahami bahwa belajar bukan hanya kewajiban, tetapi juga sebuah anugerah. Ilmu pengetahuan adalah kunci kemajuan,” kata Sekretaris Panitia kegiatan Saraswati, I Wayan Mardinatha Umbara.
Di tengah gempuran era digital, acara seperti ini menjadi pengingat bahwa budaya dan pendidikan adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan.
“Ilmu bukan hanya tentang apa yang kita baca, tetapi juga tentang bagaimana kita menghidupkan tradisi dan mengajarkannya kepada generasi berikutnya.” ujar salah seorang warga.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Desa Kertoraharjo, Ketut Juliana menilai kegiatan ini sebagai langkah positif dalam membangun generasi yang menghargai ilmu pengetahuan.
“Anak-anak semakin antusias belajar dan berkompetisi. Ini hal baik untuk masa depan mereka,” katanya.
Senada dengan itu, Ketua Adat Pura Jagat Natha, I Gede Edi, menegaskan bahwa kegiatan ini sejalan dengan visi desa dalam mencetak generasi muda yang berkarakter.
“Ilmu pengetahuan adalah bekal utama dalam membangun kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.
Senja semakin merayap, meninggalkan jejak kehangatan di hati setiap peserta. Hari Saraswati di Kertoraharjo bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga sebuah pengingat bahwa ilmu dan budaya adalah dua sisi mata uang yang harus terus dirawat, agar tak hilang ditelan zaman.