Namun, menurut kelompok petani, rekomendasi ini tidak mempertimbangkan aspek historis pengelolaan lahan oleh masyarakat setempat dan lebih mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang. Dalam dokumen yang di tandatangani pimpinan DPRD dan anggota Komisi III, beberapa poin utama disampaikan:
- Pemerintah daerah berperan aktif dalam menyelesaikan konflik lahan di wilayah IUPK PT Vale, dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani.
- PT Vale menepati komitmennya untuk tidak melakukan eksplorasi di kebun lada tanpa dialog dengan petani.
- Petani berpartisipasi aktif dalam penyelesaian sengketa untuk memperoleh hak yang seadil-adilnya.
- Pemerintah pusat agar menangani masalah legalitas lahan petani secara komprehensif.
- Jika negosiasi menemui jalan buntu, aparat penegak hukum dapat bertindak sesuai aturan yang berlaku.
Meski demikian, petani merasa rekomendasi tersebut lebih cenderung mengakomodasi kepentingan PT Vale tanpa memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan lahan mereka.
PT Vale dan Persoalan Legalitas
PT Vale menegaskan komitmennya untuk melanjutkan eksplorasi dan mengklaim telah mengantongi izin berdasarkan PPKH Nomor 235 Tahun 2024.
Sebagai bagian dari penyelesaian dampak sosial-ekonomi, PT Vale berjanji melakukan negosiasi kompensasi dengan petani.
Perusahaan juga menyatakan siap bekerja sama dengan Tim DLHK Provinsi dan pemerintah setempat untuk mencegah pembukaan lahan baru di wilayah IUPK dan PPKH, sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai mekanisme ganti rugi atau kompensasi kepada petani yang terdampak oleh kegiatan eksplorasi tersebut.
Antara Legalitas dan Kesejahteraan Petani
Dalam kajiannya, Prof Abrar Saleng menegaskan bahwa Blok Tanamalia merupakan kawasan hutan yang memerlukan izin dari Menteri Kehutanan untuk dikelola. Secara hukum, perkebunan lada yang ada saat ini adalah ilegal. Namun, dia juga menyoroti pentingnya dialog agar hak-hak petani tetap terpenuhi.
“Kedua belah pihak harus membangun kesepahaman. Menghambat aktivitas pertambangan dapat berdampak pada perekonomian daerah,” kata Abrar.
Di sisi lain, petani beranggapan bahwa pendekatan hukum semata tidak cukup. Mereka mendesak agar ada kebijakan yang lebih berpihak kepada petani kecil yang telah lama menggantungkan hidupnya dari perkebunan lada.
Meski begitu, bagi petani lada, rekomendasi DPRD tetap menjadi bentuk ketidakadilan. Mereka berharap pemerintah pusat turun tangan agar mereka tak kehilangan mata pencaharian dan mendapatkan kejelasan status hukum atas lahan yang telah mereka garap selama bertahun-tahun.