Masyarakat adat Cerekang kembali menegaskan sikap mereka menolak keberadaan izin usaha pertambangan (IUP) PT PUL yang mencaplok hutan adat mereka.
Penolakan ini tertuang dalam pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dengan perwakilan masyarakat adat Cerekang pada Jumat, 7 Maret 2025, di Aula Rapat Sekretariat Daerah.
Sekretaris Daerah Luwu Timur, Bahri Suli, memimpin langsung pertemuan tersebut. Turut hadir sejumlah kepala organisasi perangkat daerah (OPD), Kepala Desa Manurung Irwan, perwakilan Perkumpulan Wallacea, serta tokoh masyarakat adat Cerekang.
Dalam forum itu, Kepala Dusun Cerekang, Risal, menyampaikan tiga tuntutan utama hasil musyawarah kampung pada 11 Januari 2025 lalu.
Tuntutan pertama, masyarakat adat Cerekang secara tegas menolak izin pertambangan PT PUL di kawasan hutan adat mereka. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk mematuhi dan menegakkan Surat Keputusan Bupati Luwu Timur Nomor 286/X/2019 yang mengakui eksistensi hutan adat Cerekang dan melindunginya dari eksploitasi tambang.
Tuntutan kedua, masyarakat adat meminta pemerintah kabupaten memfasilitasi lokakarya multi-pihak yang melibatkan perwakilan masyarakat adat, pemerintah daerah, serta pimpinan PT PUL. Tujuannya adalah mencari solusi konkret untuk melindungi hutan adat sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistemnya.
Tuntutan ketiga, masyarakat adat mendesak pemerintah daerah mengajukan permohonan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meninjau ulang IUP PT PUL yang beririsan dengan kawasan hutan adat. Mereka juga meminta evaluasi terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan yang di nilai belum memadai.
Bahri Suli merespons dengan menyatakan kesiapan pemerintah daerah memfasilitasi pertemuan tersebut. “Kami akan mengupayakan agar lokakarya multi-pihak dan memastikan PT PUL hadir dalam diskusi yang melibatkan masyarakat adat,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Luwu Timur, Andi Makkaraka, menambahkan bahwa pemerintah daerah dapat mengirimkan surat resmi ke kementerian terkait untuk mereview izin tambang yang bersinggungan dengan hutan adat. Sementara itu, staf ahli Andi Djuanna menekankan bahwa hutan adat Cerekang bukan sekadar wilayah ekologis, tetapi juga simbol budaya masyarakat Malili.
Dukungan terhadap tuntutan masyarakat adat juga datang dari Direktur Perkumpulan Wallacea, Hamsaluddin. Ia menilai lokakarya multi-pihak adalah langkah strategis untuk menjembatani berbagai kepentingan. “Ini menjadi momentum penting untuk membangun komitmen perlindungan hutan adat Cerekang,” katanya.
Hasil analisis spasial Perkumpulan Wallacea bersama PM WTC menunjukkan bahwa 24,43 hektare wilayah hutan adat Cerekang berada dalam area IUP PT PUL. Fakta ini memperkuat alasan masyarakat adat mempertahankan hak mereka atas wilayah tersebut.