Surat Negara, Jejak Perusahaan
Pada 11 Oktober 2019, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur menerbitkan Keputusan Nomor 256/VIII/Tahun 2019 yang secara resmi mengakui keberadaan masyarakat hukum adat To Cerekang dan menetapkan sebagian wilayah adat mereka sebagai kawasan adat. Tapi pengakuan di atas kertas itu ternyata tak mampu membendung ekspansi industri tambang.
Dalam peta konsesi PT Prima Utama Lestari yang diperoleh dari jaringan advokasi masyarakat adat, garis batas wilayah kerja perusahaan melintasi bagian barat dan selatan wilayah adat To Cerekang. Masyarakat khawatir, jika eksplorasi berlanjut ke tahap eksploitasi, maka kawasan sakral seperti Bulu Mangkulili—tempat kayu suci Wallenrengnge’ dipercaya tumbuh—akan digunduli. Hutan-hutan pelindung seperti Berue dan Padang AnnungngE bisa lenyap, digantikan dengan jalan hauling, gudang bahan peledak, dan tangki sedimen.
Kalau hutan ini hilang, bukan hanya pohon yang mati. Doa kami juga kehilangan tempat untuk pulang
Risal, Kepala Dusun Cerekang
Antara Keyakinan dan Kepastian Hukum
To Cerekang selama ini hidup dengan aturan adat, bukan hukum negara. Tapi kini, mereka dituntut berbicara dalam bahasa hukum yang asing: peta koordinat, konsesi, IUP, AMDAL, bahkan proses keberatan ke instansi lingkungan hidup. Mereka tak punya ahli hukum, tapi mereka punya ingatan—dan ingatan itu ditanam dalam pohon, dalam air, dalam tanah.
Para pemuda adat kini mulai mendokumentasikan wilayah sakral tersebut, membuat peta tandingan untuk melawan peta konsesi tambang. Sebuah upaya “membaca ulang tanah leluhur” dengan bahasa yang bisa dimengerti negara. Tapi di balik itu, mereka tetap percaya satu hal: “Tanah adat bukan diwariskan untuk digadai. Ini bukan aset, ini amanah.”
Secercah Harapan di Tengah Konflik
Ketegangan yang memuncak mendorong Bupati Luwu Timur, Irwan Bachri Syam, turun tangan. Pada Senin, 28 April 2025, Irwan mengundang Yayasan Wallacea dan perwakilan masyarakat To Cerekang dalam sebuah audiensi di ruang kerjanya.

Dalam pertemuan itu, Irwan menegaskan komitmennya: melindungi hak-hak masyarakat adat sekaligus menjaga iklim investasi yang sehat di daerahnya.
“Kita harus lihat langsung peta dan titik koordinatnya. Setelah itu, kami akan tetapkan radius perlindungan 500 meter dari batas tanah adat agar PT PUL tidak melakukan kegiatan tambang di wilayah tersebut,” ujar Irwan.
Pemerintah daerah berjanji akan melakukan verifikasi lapangan untuk memetakan ulang wilayah adat Cerekang dan konsesi perusahaan. Tidak hanya itu, Irwan juga berjanji menyusun perjanjian tertulis yang mengikat semua pihak.
“Kita akan buat perjanjian bersama, disaksikan pemerintah daerah. Ini akan menjadi acuan agar semua pihak menghormati kesepakatan,” tambahnya.
Langkah ini dianggap sebagai upaya kompromi, memberikan perlindungan nyata bagi situs-situs sakral Cerekang, tanpa serta-merta mencabut izin usaha tambang yang telah terbit sebelumnya.
Menuju Persimpangan
Masa depan To Cerekang kini berada di persimpangan, apakah tanah yang dianggap suci akan bertahan dari serbuan alat berat dan buldoser? Atau apakah akan berakhir seperti banyak wilayah adat lainnya di Indonesia, yang tersapu oleh pembangunan tanpa partisipasi?
Satu hal yang pasti, bagi masyarakat To Cerekang, tanah bukan sekadar sumber daya. Ia adalah bagian dari tubuh dan ruh kolektif. Tanah tempat mereka diturunkan, tanah tempat mereka kembali.