Ancaman bencana di Kabupaten Luwu bukan lagi soal kemungkinan, tapi soal waktu. Wilayah dengan sejarah banjir, longsor, dan kebakaran hutan ini kini tengah memperkuat pertahanan lewat pendekatan ilmiah berbasis data.
Wakil Bupati Luwu, Muhammad Dhevy Bijak Pawindu, menyuarakan urgensi itu saat membuka kegiatan Sosialisasi Penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) di Hotel Subur, Rabu (14/5/2025).
“Kita tak bisa lagi mengandalkan insting atau improvisasi saat bencana datang. Kita butuh peta risiko yang jelas agar bisa bergerak cepat dan tepat,” tegas Dhevy.
Langkah ini dilakukan lewat kerja sama antara BPBD Luwu dan LPPM Universitas Hasanuddin, yang kini tengah menyusun dokumen risiko bencana berbasis kajian akademik. Ini bukan hanya soal perencanaan, tapi menyangkut keselamatan ribuan jiwa dan aset daerah.
Menurut Dhevy, penanganan bencana selama ini terlalu banyak bergantung pada reaksi cepat, bukan antisipasi jangka panjang. “Kalau kita tidak tahu titik rawan, kapasitas kita, dan dampak yang mungkin terjadi, bagaimana bisa merespons dengan benar?” ujarnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa penanggulangan bencana kini harus menjadi bagian dari kebijakan pembangunan. Mulai dari perizinan tata ruang, infrastruktur, hingga kesiapan sumber daya manusia. Ia juga mengingatkan bahwa bencana bukan hanya urusan pemerintah, tapi seluruh komponen masyarakat.
“Kajian risiko ini akan jadi alat utama untuk memastikan semua program pembangunan tidak justru memperbesar risiko bencana,” katanya.
Dhevy berharap hasil kajian ini tidak berhenti di meja birokrasi, tapi benar-benar terealisasi dalam kerja nyata.
“Bencana tidak pilih waktu. Kita tak boleh kalah karena lalai membaca peta,” pungkasnya.
Kepala Pelaksana BPBD Luwu, Andi Baso Tenriesa, menambahkan bahwa kegiatan ini bukan sekadar formalitas. Dokumen KRB akan menjadi dasar penyusunan rencana kontinjensi, pengalokasian anggaran, hingga edukasi publik.
“Ini semacam rontgen untuk daerah kita. Tanpa itu, kita buta terhadap bahaya yang setiap tahun mengancam,” jelasnya.