Di tengah derasnya arus listrik yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Balambano, puluhan warga Dusun Balambano, Desa Balambano, Kecamatan Wasuponda, justru masih hidup dalam gelap.
Padahal, mereka tinggal hanya sepelemparan batu dari PLTA milik PT Vale Indonesia yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 110 Megawatt dan menyuplai energi untuk kebutuhan industri tambang berskala nasional.
Kondisi ini menjadi sorotan publik dan memicu aksi unjuk rasa warga, yang kemudian ditindaklanjuti oleh DPRD Kabupaten Luwu Timur dengan mengagendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama PT Vale Indonesia dan PLN.
Wakil Ketua II DPRD Lutim, Harisa Soharjo, menyatakan bahwa aspirasi ini sangat layak diperjuangkan secara politik dan sosial.
“Warga Balambano tinggal sangat dekat dengan pusat pembangkit listrik, tapi banyak dari mereka belum tersentuh listrik. Ini jelas ironi dan ketimpangan yang harus segera dicari solusinya,” tegas Harisa, Senin (30/6/2025).
Politisi PAN dari Dapil Malili–Wasuponda itu menegaskan bahwa disposisi aspirasi telah diserahkan ke Komisi III DPRD dan RDP akan segera dijadwalkan. Aspirasi ini juga telah menjadi bagian dari agenda resmi Badan Musyawarah (Bamus).
Anggota Komisi III dari Partai Golkar, Badawi, memastikan bahwa RDP akan digelar dalam waktu dekat. “Kita tidak bisa abaikan aspirasi warga. Dalam minggu ini, RDP akan dilaksanakan,” ujarnya.
Ironi makin terasa karena sebagian lahan pembangunan PLTA Balambano disebut diklaim berdiri di atas tanah adat milik warga yang kini justru tidak menikmati manfaat dari keberadaan fasilitas raksasa tersebut. PLTA Balambano sendiri berlokasi di Sungai Larona, menggunakan dua turbin untuk menghasilkan energi bagi kawasan industri nikel yang dikelola PT Vale Indonesia.
Aksi warga dipimpin oleh Yolan Johan, mahasiswa Fakultas Hukum UNANDA Palopo yang juga kader HMI dan putra asli Dusun Balambano. Dalam orasinya, Yolan mengecam PT Vale yang dianggap tidak memenuhi kesepakatan sebelumnya untuk memfasilitasi tuntutan warga.
“Bagaimana mungkin listrik dari tanah kami menerangi industri besar, tapi kami masih menggunakan pelita? Ini soal keadilan,” tegasnya.
Warga mendesak agar PT Vale dan PLN membuka akses listrik gratis sebagai bentuk tanggung jawab sosial, mengingat dampak operasional PLTA sangat besar terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.