BerandaOpiniHati-Hati, Politik Uang Masih Rawan di Pemilukada

Hati-Hati, Politik Uang Masih Rawan di Pemilukada

Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) mestinya agenda rutin. Namun sekalipun rutin, potensi masalah tetap ada.  Harus diantisipasi agar tidak berubah menjadi bencana.  Empat diantara potensi masalah Pemilukada adalah daftar pemilih tetap, syarat pencalonan, pelaksanaan kampanye dan perhitungan perolehan suara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) yang dilakukan secara langsung oleh rakyat memang bukan pekerjaan gampang, selain besarnya dana yang diperlukan dalam rangka implementasi sistem yang dinilai demokratis, juga tingkat kerawanannya.

Sejak reformasi ada dua langkah besar yang terjadi dalam soal Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) ini yakni Pertama dari aspek para calon kepala daerah, dan kedua dari aspek pemilih.

Sebelum reformasi, ‘bukan sembarang orang’ dapat mencalonkan atau dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah.  Hanya mereka yang direstui oleh penguasa saja yang berkesempatan mencalonkan diri.  Tanpa restu itu, maka seseorang hanya boleh berangan-angan saja menjadi penguasa disuatu daerah.  Kondisinya bukan hanya tidak demokratis tetapi juga sangat diskriminatif.

Atas dasar gugatan rakyat, negara kemudian harus mengalah.  Mandat untuk memilih yang tadinya ada pada para anggota Dewan Terhormat diambil dan diserahkan kepada rakyat.  Demokrasi kita berubah menjadi demokrasi dengan pemilihan secara langsung.

Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) adalah suatu kegiatan rutin atas perintah undang-undang yang akan selalu berulang.  Mestinya semua lebih dewasa melaksanakannya. Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa money politic akan terus terjadi jika sistem pemilihan kepala daerah saat ini tidak diubah. Money politic menjadi persoalan klasik dalam sejumlah gugatan terkait pemilukada.Kalau sistemnya masih seperti ini money politic tidak akan bisa dihindari.

Money politic dibedakan berdasar asal uang yang digunakan. Ada money politic yang bersumber uang sendiri, ada pula yang merampok uang negara. Yang paling parah money politic itu mencuri uang negara. Itu yang banyak terbukti di MK (Mahkamah Konstitusi). Jadi uang APBD itu digunakan untuk kepentingan Pemilukada.

Selain persoalan uang sistem pemilukada saat ini juga mengandung kelemahan lain, yaitu diskriminasi promosi. Misalkan pegawai yang tidak mendukung calon incumbent dipecat. Kalau mendukung incumbent, tapi incumbentnya kalah, dia dipecat lagi oleh yang menang. Itu kasihan. Kita perlu memikirkan sistem yang lebih baik.

Modus kecurangan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) selalu meningkat kreativitasnya dari waktu ke waktu yaitu:

Pertama, kecurangan pemilukada yang hanya melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Misalnya calon perorangan/independent yang memenuhi syarat dan kartu tanda penduduknya lengkap, ternyata KTP-nya mengambil dari bank,koperasi atau pembiayaan,dll, bukan dari dukungan dari yang bersangkutan. Untuk jadi nasabah bank,koperasi atau pembiayaan tersebut kan harus menyerahkan KTP. Nah itu diambil semua, dipinjam ke bank,koperasi atau pembiayaan, dibayar, lalu dianggap sebagai pendukung.

Kedua, melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pemilukada atau yang memenuhi syarat dicoret. Kalau memenuhi syarat dicoret kan tidak boleh berperkara ke MK ( Mahkamah Konstitusi ) karena tidak pernah menjadi peserta. Itu kecurangan model baru.

Ketiga, melibatkan pemerintah daerah. Anggaran pemilu kalau tidak menguntungkan Pemda tidak akan dicairkan sehingga tidak terlaksana pemilukada.Karena sudah tiga tahun kami melakukan peradilan pemilukada, mestinya sekarang dipikirkan bagaimana mengatasi hal-hal seperti ini agar tidak terjadi akal-akalan terus.

Saat ini Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan 45 pemilukada karena curang. Lalu apa yang tidak batal itu tidak curang? Curang juga tetapi tidak signifikan misalnya money politics dan jika terbukti maka MK (Mahkamah Konstitusi) meminta polisi menghukum yang bersangkutan.

Implementasi di lapangan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) masih menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra Pemilukada itu sendiri. Fenomena-fenomena itu seperti money politics, ketidaknetralan aparatur dan penyelenggara, kecurangan berupa pelanggaran kampanye dan penggelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan politik yang bernuansa sektarian yang berujung pada retaknya bingkai harmonisasi kehidupan masyarakat. kesimpulannya adalah money politics akan terus terjadi jika sistem pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) saat ini tidak diubah. (Masbro***)

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini