BerandaOpiniOPINI | Mengurai Benang Kusut antara ‘Cinta Mati’ dan ‘Mitos’

OPINI | Mengurai Benang Kusut antara ‘Cinta Mati’ dan ‘Mitos’

Belum makan rasanya kalau belum ketemu nasi. Adagium ini seperti sebuah pembenaran bahwa tanpa makan nasi sehari tubuh akan menjadi lemas dan seakan tak bisa melakukan apa-apa dalam menunjang aktivitas keseharian kita. Fenomena seperti ini harusnya menjadi perhatian semua pihak, termasuk pemerintah, dalam hal ini seluruh stakeholder terkait. Kampanye ‘One Day No Rice’ yang digalakkan pemerintah tiga tahun terakhir seperti angin lalu saja. Ketergantungan masyarakat akan nasi sebagai sumber karbohidrat sungguh ‘keterlaluan’. Ibarat sepasang kekasih, rela mati bersama demi cinta.

Nah, deskripsi ini sangat tepat kita sematkan pada fenomena ketergantungan masyarakat akan nasi. Stigma ‘cinta mati’ pada nasi sebagai sumber karbohidrat yang paling utama inilah yang harus kita kikis sedikit demi sedikit, step by step. Jangan kemudian masyarakat terbebani dengan stigma tersebut yang pada akhirnya akan menjadi beban di kemudian hari karena harus selalu mencari beras untuk menghidupi keluarganya, sementara harga-harga di pasaran kian melambung  tinggi.

Dari data yang pernah dirilis Kementerian Pertanian Republik Indonesia, disebutkan bahwa tahun 2010 hingga saat ini, proporsi konsumsi beras masyarakat kita sudah mencapai 93%. Padahal di tahun 1950-an hingga 1970-an, proporsi konsumsi beras nasional kita hanya di kisaran angka 50% saja.

Lonjakan hampir dua kali lipat ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah terkontaminasi dengan stigma tadi. Padahal masih banyak sumber-sumber karbohidrat lainnya yang bisa kita manfaatkan sebagai sumber karbohidrat pengganti. Sungguh ironis memang, dan terlalu naif rasanya ketika masyarakat hanya terpaku pada beras dan nasi saja.

Negara ini kaya akan sumber-sumber karbohidrat selain beras/nasi. Namun, kekayaan itu belum dioptimalkan secara baik karena fokus kita hanya terpaku pada ‘sosok’ bernama beras. Hal ini perlu diluruskan, karena bila dibiarkan berlarut, bisa menjadi boomerang tatkala di kemudian hari musim paceklik menyerang di masa-masa mendatang. Salah satu cara untuk mengantisipasi itu adalah dengan memanfaatkan bahan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat bagi tubuh kita. Langkah antisipatif itu perlu agar masyarakat tidak kagok ketika apa yang kita takutkan tadi betul-betul menjadi nyata.

Namun kenyataannya, jauh panggang dari api. Masyarakat belum tersadarkan akan urgensi kampanye ‘Sehari tanpa Nasi’. Setiap kampanye tentu ada pesan yang disebarkan. Kalau di politik pesan kampanyenya adalah agar dipilih, maka tujuan kampanye One Day No Rice adalah agar masyarakat mengaplikasikannya secara riil di lapangan.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah masyarakat sudah melakukannya? Ini yang sulit. Perlu ada sesuatu yang big bang, yang bisa merubah perilaku masyarakat kita yang telanjur ‘cinta mati’ pada nasi. Banyak di antara kita setelah menikmati makanan yang mengandung karbohidrat, semisal jagung atau ubi kayu, tetap saja merasa tidak makan kalau belum menyantap nasi. Ini jelas pandangan yang keliru. Lahirnya kampanye ‘One Day No Rice’ beberapa waktu lalu tentu didasari atas pandangan keliru tersebut.

Mitos. Kalau kita berbicara tentang mitos, tentu bayangan pertama yang muncul di benak kita adalah hal-hal yang berbau ghaib. Namun sesungguhnya, secara terminologi, mitos adalah sebuah informasi yang sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena telah terdistribusi dari generasi ke generasi. Secara turun-temurun informasi itu (mitos) dijadikan sebuah kebenaran dan pembenaran dalam melakukan apa yang hendak kita kerjakan. Padahal ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan pendidikan, tidak ada korelasi langsung antara mitos dengan ilmu pendidikan yang kita geluti selama ini.

Tidak terkecuali ketika hal ini kita kaitkan dengan persoalan-persoalan di sektor pertanian. Sudah menjadi rahasia publik, sebagian masyarakat kita kerap memercayai hal-hal yang berbau mitos. Misalnya dalam melakukan kegiatan budidaya tanaman durian. Dalam sebuah cerita yang sumbernya langsung dari petani itu sendiri, dikatakan bahwa terkadang ada petani melakukan sesuatu di luar batas kepercayaan kita sebagai makhluk beragama. Bagaimana mungkin (maaf) ‘Bra’ digantung di pohon durian lantas bisa menghasilkan buah durian yang enak, besar, lezat dan harum? Meski pada kenyataannya durian itu memang lezat dan enak.

Namun, tahukah kita, kelezatan The King of Fruits ini tidak dipengaruhi oleh adanya ‘Bra’ yang bergelantungan dari pohon yang satu ke pohan lainnya. Bisa saja buah durian itu menjadi besar dan lezat diakibatkan oleh perlakuan yang kita berikan sesuai anjuran ilmu pertanian dan mengikuti saran dan anjuran pemerintah, dalam hal ini instansi terkait. Paham primordialisme seperti ini tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam sebuah cerita lain, yang saya peroleh dari bincang-bincang lepas dengan masyarakat, terungkap bahwa masih ada petani yang percaya dukun ketimbang ‘dokter hama’ dalam mengendalikan hama tikus.

Ada kejadian di mana pada sebuah hamparan areal persawahan petani diserang hama tikus yang merusak pertanaman padi. Kadang dalam proses pengendalian hama tikus ini, petani masih senang menggunakan jasa dukun dalam mengendalikan tikus di sawah. Padahal menurut pengamat hama, yang memang ahli dalam persoalan ini, mengatakan bahwa banyak cara ilmiah yang bisa dilakukan petani dalam mengendalikan hama tikus, tanpa harus pergi ke dukun. Salah satunya adalah menggunakan sebuah alat emposan tikus. Cara ini terbukti lebih efektif ketimbang harus menggunakan jasa dukun yang tidak jelas kontribusinya.

Nah, ini sebuah contoh betapa masyarakat kita masih senang memelihara sifat primordial yang kadang sangat bertentangan, bahkan menyalahi aturan ilmu pengetahuan dan akidah agama kita. Kegiatan seperti ini, jika tidak diproteksi dengan anjuran pemerintah, akan memengaruhi masyarakat secara masif. Bahwa mitos sudah menjadi bagian dari perilaku masyarakat dari generasi ke generasi, memang iya. Namun, harus ada upaya memutus rezim budaya yang keliru itu. Masyarakat diwajibkan untuk mengetahui hal ini agar tidak terjebak dalam kemusyrikan. Mitos adalah cerita masa lampau yang terlalu dilebih-lebihkan dan selalu dijadikan pembenaran. Padahal dalam pandangan agama kita, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, dan menganggap benar sesuatu yang tidak jelas dari cerita mitos, akan menjauhkan kita dari Allah SWT . Dalam surah Al-Baqarah ayat 147 dikatakan ‘Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.’

Sebagai manusia beragama, kita harus lebih percaya Tuhan, dan menaati aturan serta mengikuti segala anjuran pemerintah dalam melakukan kegiatan di bidang pertanian, khususnya budidaya tanaman. Kita ini manusia beragama. Ada Tuhan yang wajib kita percaya. Olehnya itu, sudahi kegiatan itu, dan mari kita ikuti aturan dan anjuran pemerintah, yang tentunya jauh lebih bermanfaat karena melalui proses pengkajian, penelitian, berdasarkan ilmu pengetahuan, dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya.

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News