Demonstrasi menolak Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di kantor DPRD Luwu, Kamis (2/10/14) siang tadi, nyaris berujung dengan adu jotos antara anggota DPRD dengan demonstran.
Kejadian itu bermula saat sekitar enam anggota DPRD Luwu menerima aspirasi dari para demonstran. Namun, mahasiswa menolak ke enam anggota DPRD Luwu yang seluruhnya berasal dari partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) itu. Mereka meminta agar aspirasi mereka diterima oleh minimal oleh 10 anggota DPRD lintas partai.
Politisi Partai Demokrat, Arifin Wajuanna yang mewakili para legislator mengatakan hanya enam anggota DPRD Luwu yang bisa menerima aspirasi para demonstran karena legislator lain sedang melaksanakan tugas di luar daerah sehingga tidak bisa hadir.
Penjelasan Arifin itu ditolak oleh mahasiswa. Mereka dengan emosional menilai pernyataan arifin itu mengada-ada dan hanya sekedar alasan. Sempat terjadi aksi saling dorong, beruntung para koordinator aksi kemudian meredam emosi rekannya dan meninggalkan ruang pertemuan, meskipun belum menyampaikan apirasi mereka.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa melakukan aksi longmarch ke Kantor DPRD Luwu dengan berjalan mkundur sejauh 500 km. Setiba di Kantor DPRD Luwu, mereka kemudian masuk ke sejumlah ruang fraksi dan menyegel pintu ruang fraksi sejumlah parpol, seperti Fraksi Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra. Saat penyegelan itu, tak satupun anggota DPRD yang berada di dalam ruangan.
Usai melakukan aksi penyegelan, mahasiswa membakar keranda jenazah yang sengaja mereka bawa, yang berisikan foto Ketua Umum Partai politik yang tergabung dalam KMP, yakni Foto Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie, Ketua Umum PPP Suryadarma Ali, Ketua Umum gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PKS Anis Mata, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Assegaf.
Koordinator Aksi, Husnul Imam mengatakan, pilkada melalui parlemen telah melukai sejarah panjang konsolidasi demokrasi di indonesia. “Ada rekaya politik yang dilakukan elit politik yang ingin melanggengkan kekuasaan, mereka ingin menghilangkan suara rakyat dari Sabang sampai Merauke,” kata Husnul.
Husnul menyebutkan, jika Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan UU Pilkada itu, maka mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya akan melakukan kampanye massif untuk tidak menggunakan hak suaranya pada pemilihan legislatif 2019 mendatang.