Lehodo dan Tradisi Padungku: Warisan Rasa dan Kebersamaan Suku Padoe

Redaksi
Redaksi

Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tidak hanya kaya akan keindahan alam, tetapi juga tradisi yang sarat makna. Salah satunya adalah Lehodo, makanan tradisional Suku Padoe, yang menjadi pusat dari tradisi makan bersama bernama Padungku. Kegiatan ini berlangsung secara turun-temurun dan digelar dua kali setahun.

Lehodo: Rasa yang Penuh Filosofi

Masyarakat memasukkan beras ke dalam bambu sebagai bagian dari proses pembuatan Lehodo (Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id)

Lehodo, atau lemang dalam bahasa Suku Padoe, dibuat dengan bahan utama beras pulut putih atau hitam yang dicampur santan kelapa. Prosesnya cukup panjang, seperti dijelaskan oleh Jumar Bantoto, Sekretaris Dewan Adat Padoe Towuti:
β€œButuh waktu sekitar tiga jam untuk membuat lehodo. Setelah adonan beras dan santan dibungkus dengan daun pisang, gulungan ini dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar satu per satu hingga matang.”

Hasil pembakaran Lehodo ini kemudian disantap bersama. Namun, ada tradisi unik setelah makan: lehodo dengan kualitas terbaik dilelang, dimulai dari harga Rp50.000 per ikat.

Padungku: Lebih dari Sekadar Makan Siang

Menurut data dari Jadesta Kemenparekraf, Padungku lebih dari sekadar pesta makan. Tradisi ini adalah momen bagi para petani untuk makan siang bersama keluarga besar mereka sekaligus forum diskusi untuk menentukan waktu terbaik menebar bibit padi.

Dalam tradisi Padungku, Lehodo menjadi hidangan utama, tetapi bukan satu-satunya sajian. Hidangan seperti buras dengan lauk opor ayam juga melengkapi acara ini, menciptakan pengalaman gastronomi yang berkesan.

Namun, Padungku lebih dari sekadar perayaan kuliner. Forum ini menjadi kesempatan bagi para petani untuk berkumpul dan menyepakati waktu terbaik untuk memulai musim tanam. Tradisi ini mencerminkan kebersamaan dan semangat gotong royong masyarakat Padoe, yang terus relevan hingga kini.

Pesona Budaya yang Harus Dijaga

Lehodo dan Padungku adalah warisan budaya yang kaya nilai dan perlu dijaga kelestariannya. Tradisi ini tidak hanya menghubungkan masyarakat dengan leluhur mereka, tetapi juga memperkuat hubungan sosial di tengah perkembangan zaman.

Seperti yang diungkapkan Jumar Bantoto, β€œMelestarikan Padungku bukan hanya soal tradisi, tapi juga cara kita menjaga harmoni dengan sesama dan alam.”

Bagi siapa saja yang berkesempatan mengunjungi Luwu Timur, menyaksikan atau bahkan mengikuti tradisi Padungku bisa menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Tradisi ini adalah cerminan indah bagaimana budaya, kuliner, dan kebersamaan menjadi satu dalam harmoni.

Share This Article