Balla-Balla, Penganan Tradisional Luwu yang Mulai Terlupakan

Redaksi
Redaksi
Panganan Balla-Balla khas Luwu yang kini mulai terlupakan (Foto: Melda)

Aroma manis dan gurih dari Balla-Balla menguar di Taman Baca Palopo, Rabu (22/1/2025), saat acara Nostalgia Beppa To Riolo berlangsung. Di tengah perayaan Hari Jadi Luwu ke-757 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-79, panganan khas ini kembali diperkenalkan.

Namun, di balik kelezatannya, tersimpan keprihatinan tentang tradisi yang perlahan mulai memudar.

Balla-Balla, kue tradisional berbahan dasar pisang kepok, sagu, dan gula merah, dulunya menjadi hidangan istimewa dalam acara adat dan hari-hari besar masyarakat Luwu. Namun kini, keberadaannya mulai tergeser oleh jajanan modern.

Stand kuliner dari komunitas Altar dalam kegiatan Nostalgia Beppa To Riolo (Foto: Melda)

“Anak-anak muda sekarang jarang tahu cara membuat Balla-Balla, bahkan mungkin banyak yang belum pernah mencicipinya,” ujar Suparni Sampetan dari komunitas Altar, yang turut menyajikan Balla-Balla di kegiatan tersebut.

Proses pembuatan Balla-Balla sejatinya mencerminkan kearifan lokal masyarakat Luwu. Pisang kepok yang matang dihancurkan, lalu dicampur dengan sagu – tanaman khas Luwu yang kaya manfaat – serta gula merah, gula pasir, kelapa parut, jahe, dan garam halus.

Adonan tersebut kemudian dibungkus memanjang sepanjang 50 cm dengan daun sagu, sebelum dipanggang di atas bara api selama 20 menit. Daun yang hangus menjadi pertanda kue telah matang, menghasilkan aroma khas yang memikat.

“Dulu, membuat Balla-Balla adalah bagian dari kegiatan bersama di kampung, tapi sekarang jarang sekali terlihat,” tambah Suparni.

Ketua Palopo Urban Forum, Fikar selaku pelaksana kegiatan menyebutkan bahwa Nostalgia Beppa To Riolo sengaja diadakan untuk menghidupkan kembali warisan kuliner seperti Balla-Balla.

Sajian kue-kue tradisional yang disajikan dalam Nostalgia Beppa Yo Riolo (Foto: Melda)

“Kami ingin mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda, bahwa makanan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga warisan budaya yang kaya nilai sejarah,” ujarnya.

Namun, upaya pelestarian ini tidaklah mudah. Bahan utama seperti sagu kini semakin jarang ditanam di daerah Luwu, sementara tradisi membuat Balla-Balla terancam hilang karena kurangnya penerus.

Suparni berharap perhatian terhadap makanan tradisional seperti Balla-Balla terus ditingkatkan, baik melalui pendidikan budaya di sekolah maupun festival kuliner.

“Kalau tidak kita lestarikan, siapa lagi? Jangan sampai makanan ini hanya tinggal cerita,” katanya penuh harap.

Di tengah gempuran jajanan modern, Balla-Balla hadir sebagai pengingat akan kekayaan budaya yang tak boleh terlupakan.

“Bukan sekadar makanan, tetapi simbol identitas daerah yang bertahan di tengah zaman yang terus berubah,” ujar Suparni.

Share This Article