Di lereng-lereng hijau Desa Manurung, Kecamatan Malili, Sulawesi Selatan, masyarakat adat To Cerekang masih memelihara jejak Batara Guru—manusia pertama yang diturunkan dari langit, menurut kisah leluhur mereka.
Di tanah suci Ponsewoni, di hutan-hutan Berue, dan di padang-padang rawa AnnungngE, mereka menuturkan kembali ingatan atas dunia yang “dituangkan” dengan penuh kasih dari langit ke bumi.
Namun belakangan, suara alam mulai bersaing dengan suara mesin survei. Di tanah yang mereka sebut warisan langit, bayang-bayang bendera perusahaan tambang seakan menghantui.
Ancaman itu mereka rasakan, bukan oleh kemarau panjang atau hama ladang, melainkan oleh peta konsesi tambang. Sebagian dari wilayah adat Cerekang masuk dalam peta konsesi PT Prima Utama Lestari (PUL), sebuah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Luwu Timur.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh komunitas pendamping, areal konsesi itu tumpang tindih dengan beberapa titik sakral. Dari sepuluh lokasi hutan adat Cerekang, tiga di antaranya—Pensimoni, Kasosoe, dan Padang Annungge—masuk dalam wilayah IUP PT PUL dengan total luas 24,43 hektar.
Wilayah yang Dituangkan
Nama “Cerekang” berasal dari kata “cerre“, yang berarti dituangkan. Ini bukan sekadar istilah bahasa; ini adalah filosofi hidup. Masyarakat To Cerekang meyakini bahwa dunia mereka bukan diciptakan dengan keras, tetapi diturunkan secara halus, pelan-pelan, dari langit ke bumi oleh Batara Guru. Tanah ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi perpanjangan tubuh dan sejarah mereka.
Wilayah adat mereka mencakup gunung, perbukitan, sawah, rawa, hingga pesisir pantai yang berhadapan langsung dengan Teluk Bone. Setiap bagian tanah punya fungsi, cerita, dan peran spiritual.
Peta alam To Cerekang adalah peta kepercayaan. Setiap lokasi bukan hanya tempat geografis, melainkan altar hidup yang punya fungsi tersendiri.
Ada Ponsewoni/Pengsimoni, tempat turunnya manusia pertama dan pusat ritual suci.
Ada Ujung TanaE, sebuah bukit yang berfungsi sebagai penahan banjir, menjaga agar limpahan air dari pegunungan tidak menghanyutkan sawah dan rumah.
Tomba membentang sebagai hamparan persawahan, tempat orang-orang To Cerekang berdoa untuk kesuburan setiap musim tanam.
Di Kasosoe, pemakaman tua, ritual peningkatan ilmu dan kebijaksanaan dilakukan, menghubungkan generasi masa kini dengan kebijaksanaan leluhur yang telah berpulang.
Di sepanjang Sungai Cerekang, Berue menjadi tempat meminta keberanian, hutan ini diyakini menyimpan kekuatan tak terlihat, kekuatan yang membuat manusia mampu menghadapi tantangan besar.
Sementara di Bulu Mangkulili, berdiri bukit yang dipercaya sebagai lokasi tumbuhnya Wallenrengnge’, kayu suci untuk membangun perahu Sawerigading—pahlawan mitologi Sulawesi yang melintasi samudra dalam syair La Galigo.
Masyarakat To Cerekang pun menjaga pesisir. Di Lengkong, hutan nipah dan bakau di sepanjang pantai, ritual kelautan digelar untuk menjaga keseimbangan antara darat dan laut.
Tanah rawa di Padang AnnungngE menjadi tempat pemeliharaan pertanian tradisional, sumber cadangan pangan alami.
Sedangkan Aggatungnge Ance’E dan Turungeng Appancangengnge melindungi hutan bakau, benteng hidup melawan abrasi.
Di tengah semuanya, mengalir kecil namun suci, Wae Mami: sungai kecil yang dijaga dan dikeramatkan, seolah menjadi nadi yang menghubungkan seluruh bagian dunia To Cerekang.