Dengan telah dijadwalkannya sidang perdana sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Palopo oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Juni 2025, muncul pertanyaan besar di benak publik, Apakah Palopo akan menghadapi PSU jilid II?
Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi. Dalam sejarah penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia, PSU jilid II bukanlah sesuatu yang asing.
MK pernah memerintahkan PSU dua kali dalam satu daerah jika ditemukan pelanggaran yang signifikan dan berdampak langsung terhadap hasil pemilu.
Preseden: Labuhanbatu, Muna, hingga Yalimo
Salah satu contoh paling relevan adalah putusan MK pada Mei 2021 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Saat itu, setelah PSU pertama dilaksanakan pada 24 April 2021, MK memutuskan agar penetapan pasangan terpilih ditunda karena ditemukan pelanggaran yang diajukan dalam gugatan pasangan Andi Suhaimi – Faizal Amri. Alhasil, MK memerintahkan PSU ulang alias jilid II.
Kasus serupa terjadi pula di Kabupaten Muna (Sulawesi Tenggara, 2016), Mamberamo Raya (Papua, 2021), dan Yalimo (Papua Pegunungan, 2021). Dalam semua kasus tersebut, MK mengabulkan gugatan sengketa hasil PSU jilid I karena berhasil dibuktikan adanya pelanggaran prosedural, pelanggaran asas keadilan pemilu, atau masalah administratif seperti keterpenuhan syarat pemilih, peserta, dan penyelenggara.
Konteks Kota Palopo
Di Kota Palopo, pasangan Rahmat Masri Bandaso – Andi Tenri Karta (RMB-ATK) menggugat hasil PSU yang digelar KPU, setelah hanya memperoleh 11.021 suara, jauh di bawah Naili Trisal – Akhmad Sarifuddin (47.349 suara) dan Farid Kasim Judas – Nurhaenih (35.058 suara).
Meski berada di posisi ketiga, RMB-ATK membawa perkara ke MK karena menduga ada pelanggaran serius yang mempengaruhi proses pelaksanaan PSU Pilkada Palopo.
Jika MK dalam sidang mendatang—yang akan dimulai 17 Juni—menemukan bahwa pelaksanaan PSU tidak memenuhi asas jujur dan adil, atau terdapat bukti kuat bahwa hak konstitusional pemilih dan peserta dirugikan, maka tidak menutup kemungkinan MK memutuskan digelarnya PSU jilid II di Kota Palopo.
Namun, peluang ini tentu bergantung pada kekuatan alat bukti, ketepatan argumentasi hukum, dan sejauh mana pelanggaran yang dituduhkan benar-benar terbukti substansial dan sistematis.
Secara yuridis, kemungkinan PSU jilid II Palopo terbuka, meskipun belum tentu memiliki peluang besar.
MK telah memiliki preseden untuk memerintahkan hal serupa di daerah lain. Kini, tinggal menunggu bagaimana tim hukum RMB-ATK membuktikan dalil-dalilnya, serta bagaimana KPU sebagai termohon membela hasil yang telah mereka tetapkan.
Putusan MK nanti akan menjadi momen penting yang bisa menentukan arah baru bagi politik Kota Palopo—antara finalisasi hasil PSU atau kembali ke kotak suara.