Pagi itu, Dusun Cerekang tampak berbeda dari biasanya. Tak ada riuh anak-anak bermain atau suara alat pertanian yang biasa terdengar dari ladang. Sebaliknya, pada 11 Januari 2025 lalu, ratusan masyarakat To Cerekang berkumpul di bawah tenda sederhana, duduk rapi di atas kursi plastik dengan latar pepohonan hijau yang mengelilingi mereka.
Di bawah naungan kain tradisional, mereka tampak mengenakan sarung, simbol kebersamaan yang menyatukan semua kalangan, mulai dari yang tua hingga muda, laki-laki maupun perempuan.
Musyawarah itu berlangsung khidmat di halaman terbuka. Raut wajah penuh konsentrasi dan semangat terlihat dari para peserta. Udara pagi yang segar terasa hangat oleh diskusi serius yang sedang berlangsung.
Seorang demi seorang masyarakat adat To Cerekang mengangkat tangan, menunggu giliran untuk menyampaikan pendapat mereka tentang ancaman serius yang sedang dihadapi: wilayah hutan adat mereka diklaim masuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Prima Utama Lestari (PUL).
“Tujuan kita berkumpul hari ini adalah untuk bermusyawarah menentukan sikap terhadap wilayah hutan adat kita yang masuk dalam IUP PT PUL,” ucap Risal, Kepala Dusun Cerekang, membuka musyawarah dengan suara yang terdengar lantang di tengah suasana hening.
Perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Wallacea yang hadir sebagai pemantik diskusi memberikan penjelasan detail. Dari sepuluh lokasi hutan adat Cerekang, tiga di antaranya—Pensimoni, Kasosoe, dan Padang Annungge—masuk dalam wilayah IUP PT PUL dengan total luas 24,43 hektar. Informasi itu memicu diskusi yang semakin hidup.
Peserta musyawarah, baik laki-laki maupun perempuan, tampak antusias. Suara-suara mereka mengisi udara, bergantian mengemukakan pandangan. Ibrahim, salah satu tokoh masyarakat adat, berbicara dengan semangat, “Hutan adat ini adalah warisan leluhur kami yang ada jauh sebelum negara ini berdiri. Tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mengelola wilayah tersebut.”
Sementara itu, suara perempuan juga tak kalah kuat menggema di ruang musyawarah itu. Utami, tokoh perempuan To Cerekang, berdiri untuk menyampaikan penolakannya terhadap rencana tambang. “Selain akan merusak hutan adat, aktivitas pertambangan juga mengancam ketersediaan air bersih, kebutuhan paling mendasar bagi kami ibu-ibu rumah tangga,” katanya tegas.
Diskusi yang berlangsung selama empat jam itu akhirnya menghasilkan kesepakatan bulat: masyarakat adat To Cerekang menolak segala bentuk aktivitas di hutan adat mereka dan mendesak pemerintah serta PT PUL untuk segera mengeluarkan wilayah hutan adat dari IUP.
Bagi masyarakat To Cerekang, hutan adat lebih dari sekadar lahan hijau. Ia adalah napas kehidupan, warisan leluhur, dan identitas yang tak tergantikan. Di bawah naungan pohon-pohon rindang, mereka menegaskan satu hal: perjuangan untuk mempertahankan hutan adat ini akan terus berlanjut.