Bernama lengkap Usniati S Parman, PNS kelahiran Masamba ini menjalani tugasnya sebagai penyuluh pertanian lapangan di daerah terpencil di Kabupaten Luwu Utara, yakni di Kecamatan Rampi, sejak 2006 silam. Meski berada di daerah yang sulit diakses dengan perjalanan darat ini, namun Usniati tetap mengemban tugas dengan penuh amanah.
Oleh Pemerintah Pusat, Kecamatan Rampi masih digolongkan sebagai daerah terpencil dan terisolir di Indonesia karena sulitnya akses untuk mencapai daerah itu. Selain persoalan transportasi, persoalan komunikasi juga menjadi hambatan utama untuk bisa menghubungkan Rampi dengan daerah lainnya.
Rampi adalah sebuah daerah kecamatan di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan wilayah pegunungan beriklim dingin-sejuk dengan dominasi hamparan hutan belantara dan pegunungan. Jarak tempuh dari ibukota kabupaten, Masamba, ke ibukota Kecamatan Rampi, Onondowa, adalah kurang-lebih 86 km.
Jarak 86 km ini mungkin tidak terlalu jauh bagi kita yang sering bepergian melalui kendaraan darat, namun tahukah bahwa untuk sampai ke Onondowa lewat darat membutuhkan waktu dua hari dua malam dengan menggunakan kendaraan motor alias ojek. Mobil belum bisa tembus ke sana dan tidak akan pernah bisa karena berada di daerah pegunungan nan terjal serta hamparan hutan belantara.
Bahkan terkadang berjalan kaki merupakan sebuah pilihan terakhir jika seseorang takut mengendarai motor atau fobia dengan ketinggian. Itulah deskripsi Rampi secara singkat. Jika digambarkan lebih detail lagi akan memakan lebih banyak halaman.
Alat transportasi lain yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan pesawat jenis Cassa 212 bermuatan delapan orang penumpang, yang bisa menjangkau kecamatan rampi hanya dengan 30 menit perjalanan dari Masamba. Namun, Semua akses tersebut beresiko tinggi.
Kembali kepada sosok Usniati, sejak mengemban amanah sebagai PPL di Kecamatan Rampi, dia laksana seorang diri dalam melakukan tugasnya sebagai PPL di Rampi. Dari desa ke desa yang lumayan jauh jaraknya serta medan yang kurang kondusif, plus jembatan kayu dan pohon serta sungai-sungai kecil yang harus ia lalui, dia masih mampu bekerja maksimal.
Tidak ada keluhan yang pernah terlontar karena dia sudah menjiwai profesinya. “Profesi PPL ini derajatnya sama dengan tenaga pendidik dan tenaga medis, sama-sama mulia, karena mempunyai cita-cita etis kemasyarakatan,” ujar Usniati.
Sungguh sebuah pengabdian tanpa batas yang tak akan pernah padam. Ada tiga tugas pokok PPL Lutra yang harus dilaksakanan yakni peningkatan pola pekarangan, pengentasan kemiskinan lima KK per desa serta pembinaan dua kelompok tani unggulan. Tiga tugas pokok PPL ini sementara dia laksanakan dengan penuh pengabdian demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dari pengakuan Usniati ini, terungkap bahwa dia kerap harus melalui perjalanan kaki ke kota Masamba ketika Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) sebagai ‘rumah para PPL’, mewajibkan dirinya hadir dalam sebuah pertemuan dengan seluruh PPL.
Masuk hutan ke luar hutan selama tiga hari dua malam adalah hal biasa baginya. Namun, belakangan dia sering memakai pesawat terbang karena jadwal sudah tersusun rapi, seperti yang ia lakukan pekan lalu, di mana seluruh Koordionator BP3K wajib menghadiri pertemuan dengan Bakorluh Sulsel.
Namun, seikhlas-ikhlasnya dia bekerja tentu ada saja hambatan yang dia alami. Ketahanan fisik seseorang, apalagi dia seorang perempuan yang sudah mempunyai anak, pasti akan memengaruhi aktivitasnya di lapangan.
Itulah kemudian, wanita kelahiran 1973 ini berani mengajukan permohonan kepada Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian (Bakorluh) Sulsel dan BKP3 Lutra agar Rampi disediakan enam orang PPL Swadaya yang akan membantu dia dalam kegiatan penyuluhan pertanian di lapangan.
Dia, yang juga Koordinator BP3K Rampi itu dengan suara bergetar penuh harap berujar lantang dengan suara sedikit terbata-bata. “Mohon kepada bapak dan ibu agar saya, yang sehari-harinya berjuang seorang diri untuk enam desa di Rampi, diberi enam orang PPL Swadaya beserta insentif mereka,” ucapnya.
Sungguh sebuah permintaan yang manusiawi mengingat usia dan ketahanan fisiknya yang kian tergerus oleh waktu dan kondisi alamiah ini tidak bisa menipu. Pengabdian tanpa batas ini harus dibalas dengan respon yang bijak serta tindakan yang cepat. (b)
Lukman Hamarong