BerandaOpiniKetaatan Absolut Hanya Kepada Allah SWT dan Rasul-Nya

Ketaatan Absolut Hanya Kepada Allah SWT dan Rasul-Nya

Oleh: LUKMAN HAMARONG

Setiap menjelang satu Ramadan dan satu Syawal kita biasanya diperhadapkan pada situasi yang serba pelik dengan adanya perbedaan menentukan kedua waktu tersebut, seperti yang terjadi pada awal Ramadan lalu.

Dua kelompok islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, tidak pernah sepaham soal penentuan masuknya satu Ramadan dan satu Syawal. Ibarat air dan minyak, mustahil mereka satu pemahaman soal ini. Seperti yang sudah-sudah, melalui sidang itsbat, pemerintah, yang juga representasi dari NU, melalui Menteri Agama, memutuskan tidak mengikuti Muhammadiyah yang berpuasa mulai 20 Juli lalu, dan lebih memilih suara mayoritas NU sehari setelahnya, yakni 21 Juli. Padahal di dua titik di Jakarta, wilayah Cakung dan Cilincing sudah terlihat jelas Hilal pada posisi 3,5 derajat dan 4 derajat.

Namun, sebagai penulis yang masih awam soal metode mana yang harus dijadikan rujukan, berharap perbedaan ini bukan menjadi kendala bagi kita untuk beribadah secara khusyuk di Bulan Suci Ramadan. Namun ketika saya ditanya kapan memulai puasa, maka dengan haqqul yaqin, saya lebih mengikuti metode hisab yang selama ini digunakan Muhammadiyah.

Alasannya? Tidak perlu saya jelaskan secara rinci di sini. Biarlah wilayah keyakinan menjadi rahasia saya sama Tuhan, pemerintah tidak bisa memasuki wilayah tersebut. Ada yang mengatakan;”Kok tidak mengikuti pemerintah? Bukankah sudah jelas dalam Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kalian….”

Jawaban saya soal ini jelas, wilayah keyakinan tidak bisa diintervensi oleh pemerintah. Surah An Nisa ayat 59 yang amat sangat populer ini sering dijadikan alat kampanye kandidat calon Kepala Daerah, utamanya incumbent, untuk meraih simpati publik agar rakyat harus selalu  ikut dan taat pada keputusan pemerintah.

Patut disayangkan, kutipan ayat ini sering dilontarkan secara tidak lengkap alias sepotong saja. Padahal kalau ayat ini dilanjutkan, maka maknanya tentu akan berbeda. ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Di sinilah kelirunya kita. Ayat ini sering dikutip secara tidak lengkap, hanya sampai kepada ulil amri minkum. Kalimat selanjutnya jarang dikutip. Padahal kalimat selanjutnya menjelaskan ciri-ciri utama ulil amri minkum yang baik. Bagian itulah yang menjelaskan kepada kita, siapa yang pantas dijadikan ulil amri minkum yang baik.

Kalimat selanjutnya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan ciri-ciri ulil amri minkum yang baik. Di mana jika ada sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, maka kita diwajibkan mengembalikann semua permasalahan itu kepada Allah (Al Qur’an) dan Nabi SAW (Hadist). ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Surah  Al-Hujurat ayat 1). Jadi jelas, bahwa ketaatan yang absolut hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW. Tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya dalam surat An Nisa ayat 59, kata athi’uu (taatilah) hanya pada Allah dan RasulNya, tidak pada Ulil Umri. Di mana letak ketaatan kita kepada ulil amri minkum? Nanti wajib ditaati ketika pemerintah tidak dzalim dan tidak korup. Nah, terkait dengan hal ini, perlukah kita menaati keputusan pemerintah dalam penetapan satu Ramadan dan satu Syawal?

Sebelum kita menjawabnya, maka terlebih dahulu kita harus tahu ulil amri minkum itu seperti apa. Secara umum, kita sering mengartikan ulil amri itu sebagai pemerintah, padahal arti sebenarnya adalah penguasa. Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut, III/207) bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa).

Olehnya itu kalimat ulil amri bisa disebut  berkonotasi multi alias banyak. Sedangkan kata minkum itu sendiri berarti di antara kamu. Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: “Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Siapa orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat? Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslahatan umum seperti pemimpin perdagangan, perindustrian, pertanian, termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat kabar dan para pelopor kemerdekaan serta pemimpin ormas islam tentunya. Pimpinan Ormas Muhammadiyah, bapak Din Syamsuddin pernah mengatakan ketika beliau diwawancarai di sebuah stasiun TV swasta nasional, bahwa haruskah kami ikut kepada pemerintah yang korup?

Sungguh sebuah pernyataan yang amat sangat tegas bahwa haruskah kita mengikuti pemerintah yang saat ini tengah mengalami krisis kepercayaan rakyat dengan maraknya kasus korupsi yang melibatkan hampir seluruh lini di Kementerian negara kita? Sebut saja di Kemenag ada korupsi Al Qur’an. Di Kemenpora ada kasus suap wisma atlet dan Hambalang. Di Kemendiknas ada korupsi proyek pengadaan alat bantu laboratorium di sejumlah Pergutuan Tinggi Negeri (PTN). Di Kemenakertrans ada korupsi pembangunan PLTS, serta yang lagi hangat-hangatnya di Kepolisian Republik Indonesia ada kasus Simulator. Belum lagi kasus korupsi di daerah-daerah. Naudzubillah tsumma naudzubillah. Cukuplah Allah sebagai penolong bagiku. Ampun yaa Allah jika diri ini salah dan keliru. Nun walqalami wamaa yasturuun. Fastabiqul khaerat.

 

 

Referensi Penulis: kompasiana.com, eramuslim.com dan arrahma.com

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini