Luwuraya.comLuwuraya.comLuwuraya.com
  • Berita
    • Metro
    • Hukum
    • Politik
    • Ekonomi
    • Pendidikan
    • Luwu Timur
    • DPRD Luwu Timur
  • Wisata
    • Budaya
    • Kuliner
    • Rekreasi
  • Infografis
  • Lifestyle
    • Fashion
    • Hoby
    • Komunitas
  • Lainnya
    • Foto
    • Video
    • Opini
    • Sport
Reading: OPINI | Salah Tafsir Pilpres 2014
Font ResizerAa
Luwuraya.comLuwuraya.com
Font ResizerAa
Cari
  • Berita
    • Metro
    • Hukum
    • Politik
    • Ekonomi
    • Pendidikan
    • Luwu Timur
    • DPRD Luwu Timur
  • Wisata
    • Budaya
    • Kuliner
    • Rekreasi
  • Infografis
  • Lifestyle
    • Fashion
    • Hoby
    • Komunitas
  • Lainnya
    • Foto
    • Video
    • Opini
    • Sport
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pengaduan
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Ekonomi

Siap-Siap! Besok Ada Pasar Murah di Anjungan Sungai Malili, Tanpa Syarat KTP!

Politik

DPRD Luwu Timur Gelar Paripurna Penandatanganan Nota Kesepakatan Perubahan KUA dan PPAS 2025

Ekonomi

Bupati Luwu Timur Kunjungi UPS Giwangan Yogyakarta, Cari Solusi Krisis Sampah

Pendidikan

Puspawati Apresiasi Film “Sarung Baru untuk Bapak”, Puji Nilai Inspiratifnya

Budaya

Pengukuhan Mincara Malili, Pemerintah Lutim Tegaskan Komitmen Lestarikan Budaya Adat

Ekonomi

Ironi Balambano: Hidup di Sekitar PLTA Raksasa, Warga Masih Gelap Gulita

Ekonomi

Pemkab Lutim dan PT Vale Teken MoU Strategis untuk Dorong Kesejahteraan Daerah

Metro

Pemkab Lutim Serius Wujudkan Bandara Malili, Audiensi ke Kemenhub

Beranda » Berita » OPINI | Salah Tafsir Pilpres 2014
Opini

OPINI | Salah Tafsir Pilpres 2014

Redaksi
Redaksi 4 Juni 2014
Share
SHARE

Euforia atau kegembiraan berlebihan di ekspresikan oleh jutaan manusia di negara ini. Dari kuli bangunan, petani, nelayan hingga konglomerat berdasi, mereka larut dalam hingar bingar pada hajatan 5 tahunan yang disebut PILPRES.

Rakyat tumpah ruah dilapangan, hotel hingga pusat-pusat perbelanjaan untuk menghadiri deklarasi tim atau hanya sekedar mengikuti kampanye sang kandidat.

Apa sebenarnya yang akan terjadi pada Negara ini, benarkah Negara ini akan berubah. Apakah keadilan akan sepenuhnya menjadi hak bagi mereka yang di dzalimi. Akankan sembako akan murah, apakah busung lapar akan hilang, mungkinkah kesehatan dan pendidikan itu benar-benar gratis tanpa embel-embel, dapatkah 40 juta lebih rakyat miskin papa di Negara ini mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari kelak!

Jika mundur kebelakang, asa ini pernah menjadi slogan-slogan di masa reformasi tahun 1998 silam, juga di awal PILPRES langsung di tahun 2004 dan di tahun 2009. Sebagian besar rakyat Indonesia berharap dan berfikir negara ini akan menjadi superior di mata internasional.

BACA JUGA:

Naili, Pilihan Rasional untuk Menggantikan Trisal Tahir di PSU Palopo

16 tahun sudah reformasi berlalu, 2 kali PILPRES telah digelar, apa yang telah berubah pada republik ini. Rasa-rasanya hampir tak ada perubahan mendasar selain pergantian presiden dan pejabat-pejabatnya dari waktu ke waktu.

Angka kemiskinan tak pernah berkurang, busung lapar terus menghantui, pendidikan dan kesehatan masih menjadi hal yang mahal bagi sebagian orang dan keadilan masih sulit bagi mereka yang tak punya akses kekuasaan.

Reformasi birokrasi dan reformasi sistem kenegaraan lainnya hanya memunculkan lembaga-lembaga adhoc (KPK, Komnasham, Ombudsman, Komisi Kejaksaan dan tentunya puluhan komisi sementara lainnya), selain itu reformasi telah melahirkan otonomi daerah yang juga bermakna otonomi kekuasaan secara setengah-setengah.

Lalu dimana peran penting PILPRES terhadap perbaikan kehidupan bangsa ini, bagaimana pula kabar para aktivis 98?. Dimanakah mereka sekarang berada?. Apakah mereka masih mengawal tuntutan reformasi?.

Pergerakan reformasi di Jakarta tahun 98 dikomandoi oleh beberapa orang elit organisasi masing-masing. Saat ini mereka Anas Urbaningrum (Eks Ketua Demokrat), Pius Lustrilanang (Gerindra), Adrian (Golkar), Budiman Sujatmiko (PDI-P) dan masih banyak lainnya telah masuk dalam elite kekuasaan. Hal yang sama juga terjadi pada aktivis 98 dipelbagai daerah. Ironisnya sebagian dari mereka ada yang bermasalah dengan penegak hukum.

Kini 240 juta lebih rakyat Indonesia gelisah dan tak henti-hentinya memperdebatkan capres pilihannya. Padahal dapat dipastikan yang akan terjadi adalah politik bagi-bagi kekuasaan.

Apa hubungan antara rakyat jelata dengan seorang presiden nantinya. Subsidi pupuk, sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis sampai pada kenaikan gaji PNS adalah sebuah janji dan itu memang hak setiap orang untuk mendapatkannya sebagaimana dalam UUD 45.

Sebaiknya bangsa ini banyak belajar pada sejarah negara-negara besar di dunia. Dimana tak satupun dari mereka yang memulai perubahan besar untuk negaranya dari sebuah acara seremoni yang disebut pemilihan presiden.

Sangat jelas bagaimana Iran menjadi sebuah negara  terhormat di kawasan teluk persia dengan revolusi Islam Iran dibawah pimpinan Imam Khomaeni. Tiongkok dengan revolusi kebudayaan ala Mao Tse Tung, negara-negara eropa dengan revolusi industri dan negara-negara di Amerika latin dengan revolusi agrarianya.

Mungkin sebagian orang percaya bahwa perbaikan nasib bangsa ini terletak pada pergantian rezim melalui PILPRES. Akan tetapi pergantian pucuk pimpinan sebuah Negara dari masa ke masa hanyalah menjadi arena panggung politik praktis semata. Apa yang dipertontonkan di depan panggung sangat jauh berbeda dengan kenyataan yang berada di balik panggung.

Para konglomerat dan politisi berlomba-lomba memamerkan kekuatan untuk memberikan dukungan kepada para kandidat. Apakah kita akan percaya bahwa dukungan itu demi nasib rakyat semata. Jelas pertarungan ini hanyalah sebuah ajang mencari kedudukan dan keuntungan bagi segelintir orang yang punya kekuasaan dan financial.

Jauh sebelum penetapan kandidat Capres, partai politik telah berusaha sekuat tenaga untuk mengajukan formasi jabatan, tentunya dengan kader yang telah disiapkan untuk mengisi jabatan tersebut.

Well, sebaiknya rakyat kecil menanti PILPRES ini tak perlu saling bermusuhan, saling memfitnah bahkan saling menjauhi, berikanlah hak suara dan tak perlu larut dalam janji-janji manis sang kandidat. Sebab harapan yang terlalu besar akan berubah menjadi sebuah kebencian yang mendalam jika pilihan dan janji tak sesuai dengan kenyataan pada akhirnya nanti. Ataukah jika anda ingin menjadi bagian dalam proses penyelamatan bangsa, maka sebaiknya anda mencatat dan mendokumentasikan janji-janji politik Capres kemudian kawal ketika kelak terpilih nantinya.

————————

Opini ini tak bermaksud memprovokasi untuk GOLPUT ataupun black campaign, akan tetapi hanya menjadi opini pribadi dengan sudut pandang empiris yang pernah dilalui penulis

Baca Juga Berita Rekomendasi Lainnya

MK Jadwalkan Putusan Sela Sengketa Pilwalkot Palopo pada 26 Juni 2025

KPU Pastikan Tahapan Kampanye PSU Palopo Diundur ke Bulan Mei

Hore! Biaya Retreat Kepala Daerah Sepenuhnya Ditanggung Kemendagri

Munafri Arifuddin Dinilai Layak Pimpin Golkar Sulawesi Selatan

Ini Pesan Datu Luwu Kepada Kepala Daerah Terpilih di Tana Luwu

Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp Telegram Email Copy Link Print
Previous Article Ketua DPRD Lutra Hadiri Peresmian RS Hikma Masamba
Next Article Kelembagaan Lokal Aktor Utama Pendorong Partisipasi
Pilkada Palopo Usai, Pj Wali Kota: Tidak Ada yang Kalah, Rakyat adalah Pemenang
11 Juli 2025
KPU Kota Palopo Tetapkan Naili Trisal–Akhmad Syarifuddin sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Terpilih
11 Juli 2025
MK Jadwalkan Putusan Sela Sengketa Pilwalkot Palopo pada 26 Juni 2025
24 Juni 2025
Usai Kawal PSU, ASN Palopo Diingatkan Jaga Kondusifitas
17 Juni 2025
Apakah PSU Jilid II Kota Palopo Bisa Terjadi?
13 Juni 2025
Selengkapnya
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pengaduan
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Menu
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Pengaduan
  • Redaksi
  • Tentang Kami
© Kawal Media Consulting. Luwuraya Media Kreatif. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?