Nuansa sakral menyelimuti SalassaE Istana Kedatuan Luwu, cahaya lampu memantul lembut pada dinding istana, mempertegas aura sakral tradisi yang telah hidup berabad-abad. Pada Senin, 20 Januari 2025, tradisi Mattemmu La Hoja kembali digelar. Acara ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi napas yang terus menghidupkan nilai-nilai luhur masyarakat Luwu.
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palopo, Magfirani Massa, hadir mewakili Penjabat Wali Kota Palopo, bersama para tokoh adat, agama, dan masyarakat. Malam itu, semua mata tertuju pada sembilan ulama yang bersiap memulai tugas mereka—melantunkan doa-doa suci dalam tradisi Maddoja Roja atau berjaga semalam suntuk.
Jejak Sejarah yang Hidup
Mattemmu La Hoja bukan sekadar pembacaan doa. Tradisi ini memiliki aturan sakral yang diwariskan oleh Datuk Sulaiman kepada Datu Luwu. Selama pembacaan ayat suci Alquran, sembilan ulama yang bertugas tidak diizinkan berbicara kecuali melantunkan ayat-ayat yang telah ditentukan. Jika salah satu melanggar, seluruh rangkaian doa harus diulang dari awal.
Keheningan menyelimuti istana saat doa dimulai. Setiap lantunan ayat menghadirkan getaran spiritual yang mendalam, seolah menghubungkan masa kini dengan sejarah panjang Kedatuan Luwu. Usai pembacaan doa, para ulama melanjutkan dengan salat berjamaah dua rakaat, sebelum menutup ritual dengan tradisi makan manisan bersama.
Doa untuk Masa Depan
Tradisi ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga menyuarakan harapan untuk masa depan. Mattemmu Lahoja adalah doa kolektif, sebuah pengharapan bagi keselamatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Luwu. “Ini adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Luwu,” ujar salah seorang tokoh adat yang hadir malam itu.
Yang Mulia Cenning Luwu, Andi Sitti Huzaimah Opu Dg. Ripajung, bersama Putri Cenning Luwu, Dewan Adat 12, unsur Forkopimda Kota Palopo, serta para tamu undangan lainnya, turut memberikan penghormatan pada tradisi ini. Kehadiran mereka menjadi simbol bahwa warisan budaya ini tetap relevan, bahkan di tengah perubahan zaman.
Simbol Kebersamaan
Ritual Mattemmu La Hoja diakhiri dengan makan manisan bersama, sebuah simbol kebersamaan dan harapan akan kehidupan yang manis di masa depan. Dalam kehangatan malam itu, terlihat bagaimana tradisi mampu mempersatukan berbagai lapisan masyarakat, mengingatkan semua orang bahwa di balik perbedaan, ada kebersamaan yang tak ternilai.
Di Istana Kedatuan Luwu, Mattemmu La Hoja tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga cerminan harmoni antara tradisi, agama, dan identitas masyarakat Luwu. Melalui rangkaian kegiatan Hari Jadi Luwu ke 757 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke 79 ini, diharapkan budaya dan tradisi Luwu dapat dilestarikan, dan melalui lantunan doa-doa suci dan kehangatan kebersamaan, tradisi ini terus hidup, menjaga jiwanya dari generasi ke generasi.