Melihat Peluang Pemungutan Suara Ulang di Palopo: Menilik Sampel Kasus Daerah Lain di MK

Redaksi
Redaksi
Mahkamah Konstitusi (int)

Pilkada Kota Palopo tahun ini memasuki babak baru yang menarik perhatian publik. Pasangan calon nomor urut 2, Farid Kasim dan Nurhaenih, telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kondisi Terkini

Gugatan ini tidak hanya menuntut pembatalan hasil Pilkada yang digelar pada 27 November lalu, tetapi juga meminta diskualifikasi pasangan calon nomor urut 4, Tirsal Tahir dan Akhmad Syarifuddin, serta pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tanpa keikutsertaan pasangan yang didiskualifikasi.

Terbaru, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI mengambil langkah tegas dengan memberhentikan tiga komisioner KPU Palopo. Mereka dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu karena diduga mengubah status persyaratan dan menetapkan Tirsal Tahir sebagai calon Wali Kota Palopo meskipun diduga menggunakan ijazah palsu. Keputusan ini menambah kompleksitas situasi Pilkada Palopo, terutama terkait legitimasi hasil pemilu yang sedang disengketakan.

Namun, pertanyaan mendasar adalah: seberapa besar peluang permohonan ini untuk dikabulkan oleh MK? Untuk menjawabnya, perlu dilihat tidak hanya pada aspek hukum yang berlaku, tetapi juga pada pola putusan MK dalam kasus serupa di daerah lain.

Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Sengketa di MK

Sesuai Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, MK berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah. Namun, ruang lingkup yang diatur cenderung terbatas pada sengketa penetapan hasil perolehan suara tahap akhir.

Persoalan yang berkaitan dengan tahapan penetapan pasangan calon atau dugaan pelanggaran administrasi biasanya berada dalam lingkup kewenangan Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam gugatan ini, Farid Kasim dan Nurhaenih tampaknya mempersoalkan aspek proses, termasuk validitas tahapan penetapan pasangan calon nomor urut 4. Jika benar demikian, MK kemungkinan akan memeriksa terlebih dahulu apakah argumen yang diajukan relevan dengan kewenangannya atau justru berada di luar kompetensi MK.

Studi Kasus: Keputusan MK pada Pilkada di Daerah Lain

Untuk memahami peluang gugatan ini, penting melihat beberapa putusan MK dalam kasus sengketa Pilkada sebelumnya:

  1. Kasus Pilkada Kabupaten Sabu Raijua (2020) Dalam kasus ini, MK memerintahkan PSU setelah terbukti ada pelanggaran serius terkait status kewarganegaraan salah satu calon. Meski awalnya masuk dalam lingkup administrasi, MK menilai pelanggaran tersebut berdampak langsung pada hasil akhir pemilu.
  2. Kasus Pilkada Kabupaten Halmahera Selatan (2020) MK mengabulkan permohonan PSU setelah ditemukan bukti kuat terjadinya pelanggaran yang signifikan, seperti penggelembungan suara di sejumlah TPS. Kasus ini menunjukkan bahwa MK cenderung memerintahkan PSU apabila ada bukti yang cukup untuk membuktikan pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap hasil pemilu.
  3. Kasus Pilkada Kota Surabaya (2015) MK menolak gugatan yang hanya mempersoalkan proses tanpa disertai bukti adanya pengaruh signifikan terhadap hasil akhir perolehan suara.
  4. Kasus Pilkada Kabupaten Boven Digoel (2020) Dalam Pilkada Boven Digoel, MK memerintahkan diskualifikasi salah satu pasangan calon karena pelanggaran berat, yakni tak memenuhi syarat selaku bekas narapidana kasus korupsi. calon diketahui belum menjalani masa jeda lima tahun sejak dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung 2017 (ralat pada penulisan sebelumnya tertulis kasus ijazah palsu). Selain itu, MK juga memerintahkan PSU. Kasus ini menunjukkan bahwa MK dapat mengakomodasi diskualifikasi dan PSU secara bersamaan jika pelanggaran yang terbukti memiliki dampak substansial pada hasil pemilu.

Peluang Gugatan di Palopo

Jika mengacu pada pola putusan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Bukti Materiil dan Pengaruh pada Hasil: MK umumnya mengabulkan PSU jika pelanggaran yang dibuktikan memengaruhi perolehan suara secara signifikan. Dalam kasus Palopo, pasangan Farid Kasim-Nurhaenih harus mampu menunjukkan bukti konkret bahwa keberadaan pasangan nomor 4 secara langsung merugikan perolehan suara mereka.
  • Kesesuaian dengan Kompetensi MK: Jika gugatan lebih banyak menyasar aspek tahapan atau administrasi, peluang gugatan ini dikabulkan akan semakin kecil, karena aspek tersebut biasanya menjadi ranah Bawaslu atau PTUN.
  • Diskualifikasi Pasangan Calon: Permohonan untuk mendiskualifikasi pasangan calon nomor 4 membutuhkan bukti pelanggaran serius yang dapat memengaruhi legitimasi pencalonan mereka. Jika tidak ada bukti kuat, permohonan ini kemungkinan besar ditolak.

Menanti Keputusan MK

Peluang pelaksanaan Pilkada ulang di Palopo melalui putusan MK bergantung pada kualitas bukti dan relevansi argumentasi hukum yang diajukan pemohon. Jika bukti yang diajukan hanya bersifat administratif tanpa dampak signifikan pada hasil pemilu, maka gugatan ini sulit untuk dikabulkan. Sebaliknya, jika ditemukan pelanggaran substansial yang memengaruhi hasil perolehan suara, MK dapat mempertimbangkan pelaksanaan PSU.

Sebagai masyarakat, penting untuk terus mengawal proses hukum ini secara objektif dan menghormati keputusan yang akan diambil oleh MK. Proses ini bukan hanya soal menentukan siapa pemimpin Palopo, tetapi juga memperkuat demokrasi dan penegakan hukum dalam pemilu kepala daerah.

Share This Article