Meski telah beroperasi selama lebih dari setengah abad di Luwu Timur, PT Vale Indonesia dinilai belum pernah membangun satu pun fasilitas umum dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) di wilayah barat Kabupaten Luwu Timur.
Hal ini diungkapkan oleh anggota DPRD Luwu Timur, Wahidin Wahid, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Sinkronisasi TJSL Perseroan Terbatas untuk Mendukung Pembangunan Daerah”, yang digelar Rabu (19/6/2025) di Sorowako.
Wahidin menyampaikan bahwa masyarakat di wilayah barat merasa terpinggirkan dari program CSR, meskipun secara administratif tetap bagian dari Kabupaten Luwu Timur.
Dia menyoroti fakta bahwa selama 57 tahun operasional PT Vale, wilayah barat kabupaten ini tak kunjung disentuh program pembangunan sosial perusahaan.
“Wilayah kami memang tidak berada di pusat operasional, tapi bukan berarti harus diabaikan. Jalan kami tetap dilintasi kendaraan Vale, dampaknya kami rasakan,” tegas Wahidin.
Dia menekankan bahwa masyarakat tidak menuntut porsi yang sama, melainkan perlakuan yang adil. “Kalau wilayah operasional dapat tiga, kami cukup dua. Tapi sekarang kami tidak pernah dapat,” ujarnya.
Ketua DPRD Luwu Timur, Ober Datte, turut memperkuat desakan tersebut. Dia menegaskan bahwa seluruh wilayah di Lutim menerima dampak aktivitas industri, baik melalui udara, darat, maupun laut, sehingga layak mendapat alokasi CSR.
Sementara itu, tenaga ahli dari Social Investment Indonesia, Jalal, menjelaskan bahwa distribusi TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) perusahaan mengacu pada dokumen AMDAL.
Jika sebuah wilayah tidak tercantum dalam dokumen tersebut, maka PT Vale secara hukum tidak bisa menyalurkan program CSR ke sana.
“Kalau mau wilayah barat terakomodasi, AMDAL-nya harus diubah. Tapi itu bukan wewenang PT Vale semata. Harus lewat proses ke Kementerian Lingkungan Hidup,” jelas Jalal.
Diskusi ini juga direspons oleh anggota DPRD Sarkawi Hamid, yang mempertanyakan apakah revisi AMDAL benar-benar memungkinkan. Jalal menegaskan bahwa hal tersebut bisa dilakukan, asalkan melalui jalur resmi.
FGD ini membuka ruang diskusi strategis tentang ketimpangan distribusi CSR, sekaligus menegaskan perlunya sinkronisasi antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat agar pembangunan sosial benar-benar menyentuh seluruh wilayah Kabupaten Luwu Timur—bukan hanya daerah sekitar tambang.