15 Tahun sudah reformasi bergulir di Indonesia, di negeri kaya raya, negeri untaian zamrud khatulistiwa, bangsa yang berbhineka itulah julukan bagi bangsa yang berpenghuni 200 juta lebih.
Dari 200 juta lebih, 96 juta diantaranya masih digolongkan miskin (TNP2K 2012). Namun harapan perbaikan nasib rakyatnya belum bergerak ke arah yang signifikan. Saling tuding institusi untuk mereformasi barisannya, trend isu agama dan mengatasnamakan kelompok terus mewarnai dinamika perpolitikan negara ini. Entah sampai kapan negara akan jujur kepada rakyatnya.
Catatan buram kemiskinan jelas terlihat di berbagai sudut kota hingga pelosok negeri. Kasus kelaparan yang berujung pada kematian tragis di beberapa kota besar hingga di pedalaman Papua dan Nusa Tenggara.
Belum lagi di tambah naiknya harga BBM, tarif dasar listrik yang di ikuti oleh kenaikan bahan pokok menjadi pelengkap rentetan penderitaan rakyat.
Sebab pertarungan elite pemerintah hanya berputar pada poros wacana memberantas kemiskinan dan menjadi guyonan di meja wakil rakyat dengan sedikit legitimasi hak interpelasi dan mosi tidak percaya. Dan tentu kesemuanya itu berakhir pada satu solusi
“kompromi”.
Kematian rakyat akibat busung lapar dan gizi buruk yang sempat disembunyikan oleh pemerintah tidak akan terselesaikan dengan kunjungan kepala negara ataukah hanya dengan menyatakan keprihatinan.
Alangkah baiknya jika pemerintah mengedepankan konsep ”Pemembangun ekonomi kerakyatan dengan azas lokalitas dan partisipatif tanpa diskriminasi”. Artinya lewat perbaikan sistem ekonomi negara yang di dukung kebijakan pro-rakyat, mengedepankan kearifan lokal, melibatkan rakyat secara menyeluruh, mengelolah SDA secara nasional, mendorong pertumbuhan UMKM yang jumlahnya mencapai 48,93 juta unit atau 99,9% dari total pelaku usaha nasional.
Dengan cara ini, maka peran serta negara dalam pemberantasan kemiskinan adalah memfasilitasi rakyat untuk dapat meningkatkan harkat martabatnya tanpa sikap diskriminasi, ketergantungan dan perilaku saling menyalahkan.
Perbaikan nasib rakyat tergantung pada sikap pemimpin negara. Paradigma pengelolaan Sumber Daya Alam yang berprinsip jual cepat dan jual murah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Saksinya, rakyat di daerah kaya SDA tidak pernah luput dari potret kemiskinan dan kelaparan. Inilah yang di sebut dengan salah tafsir perbaikan ekonomi negara.
Negara memfasilitasi pemimpin yang bertanggungjawab dan rakyat yang bekerja adalah rangkaian pola kerja yang terukur dan ternilai. Kembalikan kedaulatan rakyat atas pangan, atas pengelolaan SDA. Pasar bebas yang telah di buka seluas-luasnya akan memangsa rakyat kecil (khususnya petani, nelayan dan buruh). Kebijakan impor beras, pengurangan subsidi terhadap pupuk dan privatisasi badan usaha Negara/daerah akan mengerogoti rakyat yang sudah miskin.
Tak ada alasan yang dapat diterima oleh akal sehat dengan kasus kelaparan yang terjadi saat ini. Perbaikan daya kelola rakyat atas sumber-sumber kehidupan dan penghidupan akan mampu mengeluarkan rakyat dari jeratan kemiskinan asal dilaksanakan oleh orang-orang yang tepat.
Strateginya adalah mendorong dan melindungi sektor riil negara yakni sektor pertanian dan usaha-usaha mikro dengan berbagai bentuk kebijakan negara yang tidak birokratis dan dalam pengawasan melekat. Triliunan dana yang dihamburhamburkan untuk menyehatkan perbankan nasional akan lebih bermanfaat jika disubsidi untuk kepentingan pendidikan nasional dan perbaikan pertanian nasional.
Tangisan, teriakan anak-anak kecil, orang tua jompo di tepi jalan meminta uang receh kepada mereka yang berbaik hati, di lorong jalanan kota-kota besar, pengangguran menghabiskan waktunya.
Ibu-ibu yang sedang meratapi nasib di kolong jembatan dan petani di pelosok daerah yang sedih tak mampu membiayai keluarganya.
Potret buram bangsa Indonesia jangan dijawab dengan penggusuran, menaikkan harga BBM, harga sembako dan kehancuran lingkungan.
Jangan paksakan semua rakyat untuk menjadi pengusaha, sebab tidak semua rakyat miskin punya kemampuan untuk itu. Jangan paksakan rakyat Indonesia untuk bersaing dengan para pemodal, sebab tidak semua rakyat Indonesia punya modal. Jangan biarkan ekonomi Indonesia di kuasai oleh mekanisme pangsa pasar, sebab pangsa pasar tidak peduli mana yang kaya dan mana yang miskin.
Cukup sudah tragedi kemiskinan Indonesia, jangan ditutup-tutupi hanya karena tidak mampu berterus terang kepada rakyat.
68 tahun lebih adalah waktu yang cukup di alam kemiskinan, saatnya bangkit dan bersatu melawan kemiskinan, sebab kemiskinan tidak akan pernah selesai dengan cara mengurangi angka kemiskinan yang ada. Lihat orang tua yang pingsan karena tidak mampu antri saat menerima BLT dan seorang ayah yang bunuh diri bersama anak- anaknya di Tegal barat hanya karena tidak mampu menatap masa depannya.
Akankah kematian demi kematian rakyat miskin akan menggugah perilaku pemimpin bangsa, ataukah memang tidak pernah ada niatan tulus untuk menghentikan kemiskinan ini !.
Oleh: Ibrahim (Anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI Luwu Utara))