Oleh: Lukman Hamarong (PNS di Kabupaten Luwu Utara)
Travelling atau jalan-jalan, rekreasi, tamasya, refreshing, berpetualang, berdarma wisata, atau apalah namanya, yang sifatnya hiburan, biasanya dilakukan ketika manusia sudah berada pada titik kejenuhan setelah beberapa lama ‘bergulat’ dengan segala aktivitas keseharian.
Mengisi waktu luang dengan hal tersebut memang harus dilakukan walaupun tidak mutlak. Tidak sedikit juga ada yang beranggapan bahwa menghabiskan waktu luang dengan traveling hanya menghabis-habiskan energi dan materi karena seluruh pikiran sepenuhnya tertuju pada aksi senang-senang saja.
Padahal masih banyak kegiatan yang bisa dilakukan yang manfaatnya jauh lebih besar ketimbang hiburan dan senang-senang semata. Satu contoh kegiatan yang saya maksud adalah introspeksi dan evaluasi diri sampai sejauh mana aktivitas kita itu bisa bermanfaat bagi diri sendiri, terlebih lagi bagi orang lain.
Contoh lain, kumpul bareng keluarga. Kegiatan ini yang sangat jarang dilakukan karena masing-masing sibuk dengan segala urusan pekerjaannya. Namun, jarang bukan berarti tidak bisa kan? Kenapa kita tidak mencobanya? Anda harus sesekali menjadi pionir.
Memang kita tidak bisa pungkiri bahwa manusia modern kini lebih condong ke arah yang sifatnya hiburan (baca : jalan-jalan). Hanya dengan berjalan-jalan atau berdarmawisata, bahkan sampai ke negeri orang, kepuasaaan dunia dapat mereka raih, tidak peduli berapa ongkos yang mereka keluarkan.
Jutaan, puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah yang keluar, seakan nir arti bila kepuasan batin terpenuhi. Sangat ironis memang, di satu sisi kita dituntut untuk membelanjakan uang kita di jalan Allah demi kepentingan akhirat, di sisi lain orang senang menghambur-hamburkan uang demi kenikmatan duniawi semata dan itu sifatnya sesaat saja.
Saya ingin meminjam pernyataan Luthfi A Mutty, mantan Bupati Luwu Utara dua Periode 1999-2009, bahwa dua orang ahli futurolog (baca : ahli peramal masa depan), Alvin Tofler dan John Nesbit, pernah mengungkapkan bahwa abad XXI merupakan abad traveling, yaitu suatu masa di mana masyarakat dunia nantinya akan menghabiskan hidupnya dengan jalan-jalan atau berwisata.
Menurut kedua ahli futurolog tersebut, 30% pendapatan masyarakat dunia akan dihabiskan untuk berwisata. Orang pun bisa melakukan apa saja guna mewujudkan apa yang terbaik menurut mereka. Best of the best. Ya….terbaik di antara yang terbaik. Terbaik untuk ukuran kacamata mereka namun bisa menjadi yang terburuk untuk ukuran kacamata orang lain.
Saya pun juga setuju dengan pak Luthfi bahwa momentum abad ke—21 ini kita jadikan sebagai era Travelling di Luwu Utara, tetapi traveling di sini bukan berarti kita berwisata ke daerah atau negara lain, melainkan bagaimana kita bisa mendatangkan orang-orang dari luar daerah untuk berdarma wisata di tempat kita.
Bagaimana kita bisa memikat para pelancong dari luar untuk bisa berkunjung ke daerah kita? Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mewujudkan impian tersebut adalah meningkatkan kehidupan budaya, pariwisata dan kembali menggali sejarah dan budaya lokal kita. Salah satu Kabupaten termuda di Indonesia, Luwu Utara, bisa dianggap telah berhasil melakukannya.
Tahun 2004 lalu, Luwu Utara berhasil menggelar suatu event budaya berskala nasional, bahkan internasional, yakni Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading yang dilaksanakan selama kurang lebih satu minggu. Dan bahkan sejarah I Lagaligo, telah berhasil berkeliling dunia ke mancanegara, seperti Prancis, Jerman dan Singapura.
Tidak cukup puas dengan suksesnya penyelenggaraan Festival I La Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading, Pemda Lutra bekerja sama dengan Pengurus Daerah (Pengda) Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Sulawesi Selatan juga sukses menggelar sebuah event olahraga Arung Jeram berskala nasional yang dilaksanakan di Sungai Rongkong Kecamatan Sabbang pada akhir 2004 silam.
Dua kegiatan ini telah mengangkat nama Kabupaten Luwu Utara di Indonesia, bahkan di dunia internasional. Hal ini terjadi berkat kejelian Pemda Lutra menggunakan momentum abad 21 ini sebagai abad Travelling, sehingga potensi sejarah, budaya dan pariwisata di Tana Luwu bisa tergali kembali oleh adanya kegiatan tersebut. Sekali lagi patut kita bertanya di dalam hati, Perlukah kita Travelling ? (*)