Di tengah hiruk-pikuk agenda pemerintahan, Irwan Bachri Syam memilih langkah yang tidak lazim: menginstruksikan seluruh aktivitas di Luwu Timur berhenti sejenak, sepuluh menit sebelum azan. Bukan untuk rapat penting, bukan untuk pengarahan birokrasi. Tapi untuk shalat berjamaah.
Kebijakan ini bukan sekadar imbauan. Di Kompleks DPRD Luwu Timur, masjid mendadak sesak kala Dzuhur dan Ashar. “Kami sampai harus pasang tenda tambahan di belakang,” ujar Irwan sambil tersenyum saat menghadiri Rapat Koordinasi AGPAII Lutim, Ahad 13/4/2025.
Langkah ini pun menuai pujian dari pejabat tinggi Kementerian Agama. “Jarang ada bupati yang begitu memperhatikan urusan akhirat rakyatnya,” kata Dr H Ali Yafid, Kepala Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan. Dalam pandangannya, kebijakan ini lebih dari sekadar religi — ia menyentuh nadi kebiasaan sosial, menyentil sisi disiplin dan kolektivitas yang perlahan luntur di ruang publik kita.
Ali menyadari tidak semua warga serta-merta merasa terpanggil ke masjid. Tapi, katanya, “Ada orang yang memang harus dipaksa-paksa dulu. Tidak apa-apa. Nanti juga terbiasa.” Nada bicaranya santai, seperti guru lama yang tahu benar watak murid-muridnya.
Irwan sendiri tak menampik bahwa kebijakannya terkesan keras. Tapi baginya, tujuan jangka panjang lebih utama. “Lebih baik dipaksa masuk surga, daripada sukarela masuk neraka,” ujarnya, disambut gelak tawa para guru yang hadir.
Di era ketika waktu nyaris tak punya jeda, ketika produktivitas lebih dihargai ketimbang hening, langkah Irwan mengajak rakyatnya untuk diam sejenak—menyambut panggilan azan—adalah sikap yang sunyi namun mencolok.