Kalau ingin berbuat yang terbaik untuk negeri ini, jangan malu menjadi orang lain. Ungkapan tersebut bisa menjadi pengubur istilah be your self. Menjadi seperti orang lain, sepanjang itu baik, maka tidak perlu ragu untuk mengatakan: Kenapa tidak seperti mereka? Why not like them? Sebagai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang kadang harus berhadapan “head to head” kontra hujan dan matahari, lalu kemudian menggandeng panasnya matahari dan merangkul dinginnya hujan, saya tentu welcome terhadap keterlibatan TNI-AD dalam membantu pemerintah mewujudkan swasembada pangan yang muaranya tentu berorientasi kepada kemandirian dan kedaulatan pangan.
Tidak mudah memang, tapi sepanjang ada niat tulus dan ikhlas, hal yang dirasa sulit bisa menjadi mudah dilakukan. Ini bukan lagi soal berapa ongkosnya, tapi ini soal pengabdian terhadap bangsa dan negara. Seperti kata Presiden Jokowi, “Tidak mudah memang mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Dibutuhkan upaya keras untuk mewujudkannya.”
Berangkat dari ketidakmudahan tersebut, Jokowi mulai mengerahkan segala potensi yang dimiliki bangsa ini guna mewujudkan swasembada pangan secara sustainable, termasuk “mengerahkan” bala bantuan dari TNI untuk terjun langsung di lapangan bersama PPL dan petani. Keterlibatan pasukan hijau itu bukan berarti melemahkan keberadaan PPL, tetapi malah menambah energi guna mempercepat terwujudnya cita-cita tersebut. Bukan hal baru ketika TNI terlibat dalam pembagunan di negeri ini, khususnya pembangunan pertanian secara universal. Tentu kita masih ingat di zaman orde baru, ada namanya ABRI Masuk Desa (AMD), dan di era Reformasi, di saat SBY berkuasa, dimodifikasi menjadi TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD). Meski berganti kulit, tapi isinya tetaplah sama, yakni bagaimana membantu pemerintah mengurangi angka kemiskinan di negara tercinta ini. Pun saat ini, ketika Jokowi mengeluarkan kebijakan menggandeng TNI bersama-sama dengan Kementerian Pertanian (Kementan) dalam rangka mewujudkan swasembada pangan.
Meski direspon baik oleh berbagai kalangan, tapi tidak sedikit pula yang menentangnya. Kebanyakan yang kontra adalah mereka yang khawatir kegiatan penyuluhan oleh PPL tidak akan berjalan normal akibat masuknya Bintara Pembina Desa (Babinsa) sebagai perpanjangan tangan TNI di tingkat desa dalam melakukan kegiatan penyuluhan di lapangan. Menurut saya, kebijakan menerjunkan Babinsa di tengah-tengah sawah adalah hal yang luar biasa. Jika sukses mengemban amanah ini, maka Babinsa pantas diberi apresiasi yang luar biasa. Ini wujud keseriusan pemerintahan Jokowi-JK dalam membawa bangsa ini berlari kencang mewujudkan cita-cita tersebut.
Patut pula kita cermati statement KSAD Gatot Nurmantyo berikut ini: “Swasembada pangan ini sangat penting. Tidak mungkin ketahanan nasional bisa tercapai tanpa ketahanan pangan dan tidak mungkin ketahanan pangan terwujud tanpa swasembada pangan.” Pernyataan tersebut secara tersirat memberi pesan lisan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa TNI pun bisa diandalkan, tidak hanya dalam operasi perang, tetapi juga dalam operasi selain perang, salah satunya adalah operasi terjun langsung ke sawah. Nah, TNI sudah menyatakan kesiapan dan kesanggupannya membantu pemerintah. Lantas, apa alasan kita untuk tidak welcome menyambut mereka dengan bersama-bersama terjun melakukan pembinaan di masyarakat? Sikap kritis memang dibutuhkan untuk melengkapi kekurangan yang ada, asalkan mampu merekonstruksi pemikiran dengan sebuah gagasan dan ide yang cemerlang.
Perlu diingat bahwa kehadiran Babinsa bukan mengambil tugas pokok PPL, tetapi bagaimana membantu PPL mewujudkan cita-cita petani, cita-cita pemerintah dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia, yaitu mewujudkan swasembada pangan, sehingga kesejahteraan rakyat bisa meningkat dari hari ke hari. Kehadiran Babinsa di kalangan petani patut didukung, karena tugas mereka adalah mendampingi pemerintah mengawal cita-cita tersebut agar terealisasi seperti yang diharapkan. Ketika kesejahteraan masyarakat bisa diwujudkan, maka situasi keamanan bisa terus terpelihara, sehingga roda kehidupan bisa berjalan mulus tanpa adanya kriminalisasi akibat kesulitan ekonomi. Biasanya situasi keamanan tidak normal karena faktor ekonomi masyarakat yang jauh dari kata sejahtera. Ketahanan pangan terwujud, ketahanan nasional pun akan awet terjaga.
Meski demikian, yang namanya kebijakan publik, dukungan 100% dari rakyat tidak sepenuhnya bisa didapatkan. Selalu saja ada pro dan kontra. Namun, saya pribadi, dan juga sebagian besar rakyat Indonesia yang jumlahnya kini mencapai 250 juta jiwa, malah beranggapan sebaliknya. Babinsa hadir dalam tugas mengawal suksesnya program pemerintah. Kehadiran mereka adalah angin segar buat petani yang sangat membutuhkan motivasi dan semangat juang dalam bekerja guna keluar dari jeratan kemiskinan. Mereka hadir di sawah tidak membawa senjata api dan peralatan tempur lainnya, melainkan membawa cangkul dan peralatan pertanian lainnya. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ketika semua lini kekuatan bersatu (Pemerintah-TNI-Petani), maka cita-cita swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan, bukan impian kosong belaka.
Jadi, biarkanlah Babinsa mendadak menyuluh dengan segala previlese-nya dan PPL akan all-out bersama mereka mewujudkan cita-cita swasembada pangan, khususnya padi, jagung dan kedelai. Jadi, apa yang salah ketika Babinsa juga ikut menyuluh? Bukankah keterlibatan mereka semata-mata mendukung dan mempercepat target dan cita-cita pemerintah mewujudkan swasembada pangan? Tanpa mereka, sebenarnya pemerintah bisa, tetapi kalau ada yang ingin membantu mempercepat keinginan kita, sepanjang itu baik, apa kita harus menolak dengan mengatakan tidak, tidak dan tidak? Mungkin cara TNI dalam mengakselerasi pencapaian tujuan yang coba dinapaktilasi dengan harapan ke depan, akselerasi dan determinasi pembangunan pertanian bisa berjalan lancar meski tanpa ada bala bantuan lagi. (*)