LUWU – Hasbi, warga Dusun Nyamen, Desa Dampan, Kecamatan Bastem Utara, Luwu, Sulawesi Selatan, hanya menggandalkan gula merah aren, untuk menopang ekonomi keluarganya. Setahun lalu, rumahnya habis terbakar. Tak ada harta benda yang berhasil diselamatkan.
Kini, dia bersama 10 orang anaknya, harus rela tinggal di gubuk reot, berukuran 5×6 meter. Gubuk beralas tanah dan dinding terpal yang mulai koyak. “Ada beberapa lembar bantuan atap seng dari Pemerintah, tapi kami jadikan dinding, karena terpal buat dinding, sudah banyak yang koyak,” kata Hasbi.
Jika sedang tak punya uang, dan beras habis, Hasbi harus ke hutan, mencari sikappa. Sikappa adalah umbi-umbian beracun, yang diolah menjadi makanan, pengganti beras.
“Tapi sekarang musim kemarau, sikappa sulit didapat, jadi kami kadang cari pisang saja,” katanya.
Pasca rumahnya terbakar, dua tahun lalu. Hasbi hanya sekali mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Itupun hanya terpal dan sembako. Setelah itu, tak pernah lagi. Bantuan bedah rumah dari Pemkab Luwu, tidak diperolehnya.
Sementara itu, dua dari 10 anaknya, masih bersekolah di SDN 639 Topondan, Desa Barana. Adalah Nova dan Salam. Keduanya setiap hari berjalan kaki sejauh 8 kilometer, pulang pergi.
“Seragam sekolah dan sepatu tidak mampu kami beli, jadi pakai sendal dan baju kaos biasa, ke sekolah,” ujarnya.
Rohaya, guru di SDN 639 Topondan, mengaku prihatin melihat kondisi anak didiknya itu. Namun dia hanya bisa mendoakan, agar Nova dan keluarganya, segera mendapat bantuan dari pemerintah.