BerandaInfo AndaSurat Pindah Diminta, Coret Merah Diterima

Surat Pindah Diminta, Coret Merah Diterima

Oleh: Hamus Rippin (Warga Luwu yang saat ini berdomisili di Belanda)

Romantis, masa muda datang hanya sekali saja, setelah berlalu tinggal kenangan belaka, tak akan kembali lagi. Masa dibangku sekolah menengah, satu masa yang kesannya tersendiri dalam hidup manusia yang mengalaminya, susah dilupakan. Karena dimasa ini, biasanya manusia hidup dalam jembatan penyeberangan antara usia kanak-kanak, ke dalam dunia puberitas, alias masa remaja.

Tempat kelahiranku, juga tempat dimana saya dibesarkan. Tempat ini bagiku penuh suka duka, satu desa,  bukan pedesaan, apalagi dusun, namanya Murante. Murante, terletak di Kecamatan Suli, diporos jalanan besar, trans Sulawesi. Antara Makassar- Palopo, dilewati sebelum sampai Belopa ibukota kabupaten Luwu yang baru,  dari arah Makassar ke Palopo.

Ketika aku duduk dibangku sekolah menengah pertama, bernama SMI, satu sekolah menengah Islam swasta di Suli, saat itu adalah tahun 1965. Sejak saya duduk dikelas terakhir sekolah dasar, saya sudah memiliki cita-cita masuk sekolah menengah negeri, sayangnya saat itu di daerah tempatku tinggal belum terdapat sekolah menengah negeri untuk mewujudkan cita-citaku. Akhirnya, dengan meredam keinginan tersebut, saya masuk ke Sekolah Menengah Islam (SMI).

Saat duduk di kelas dua, SMP Negeri Belopa membuka filial (kelas jauh) di Suli, untuk kelas satu. “Ah ini dia” gumamku dalam hati ketika tiba-tiba ada keinginan pindah ke sekolah negeri SMP, untuk mewujudkan cita-cita lama, setelah cita-cita saya terpendam beberapa tahun.

Satu ketika setelah  kami baru duduk dikelas tiga, saya duduk bersama, empat orang dua teman wanita dan kami berdua pria, saya, Samsia, Patahallah dan Patiara, kami dijuluki teman sekolah dua S, dua P. Dalam perbincangan kami berempat, kami akan berusaha pindah dari SMI partikulir ke sekolah SMP negeri. “Tidak bisa” kata salah seorang teman memotong pembicaraan kami.

“Ok! tidak bisa sudah ditahu. Tetapi bagaimana mengusahakan agar bisa. Ada ide?” tanya samsia.

Kami masih sementara makan goreng ubi, yang dikenal di tempat kami nama kasubi. Di warung sekolah, dalam pagar sekolah kami. Saya menyuap, mengunyah sambil berpikir, tiba-tiba ada ide saya. Saya mendekatkan mulut kepada teman laki-laki Patahallah. Kami berbisik berdua, tampa jelas didengar oleh teman wanita kami Samsiar dan Patiara.

Hasil perbisikan kami berdua, hari yang sama kami langsung realisasikan setelah selesai jam sekolah. Saya dan Patahallah tidak langsung pulang rumah, ke Murante yang jaraknya sekitar 3 kilometer lebih dari Suli tempat kami bersekolah. Tetapi berusaha menjejaki, mengunjungi pimpinan SMP Filial Suli. Berani juga langkah nekat kami ini. Namanya masa ramaja maunya coba-coba, berhasil syukur, tidak berhasil sabar, apa boleh buat. Semangat keberanian dan kejujuran adalah modal dan andil terbesar dalam hidup seorang manusia.

Kami berdua mendatangi rumah pimpinan sekolah SMP sekitar jam 04.00 sore hari. Saat kami tiba yang bersangkutan sementara tidur siang. Setidaknya masih dikamar tidurnya. Kami diterima isterinya dan kami sampaikan hal maksud kami. Kami berdua tinggal duduk dikursi rotan, menunggu, sampai beliau bangun, karena ingin mencari informasi, hal rencana kami ini.

“Apa kabar anak muda?” demikian suara kami dengar dari orang yang kami tunggu keluar dari dalam, muncul dipintu menebar senyum samil bicara. Beliau memperlihatkan tanda simpati dan senyuman bersahabat, kami berdua senang dalam hati, dijemput dengan senyum bersahabat, alangkah senangnya.

“Masya Allah, itulah yang kami tunggu,” hati saya berbicara sendiri sebelum mulut saya menjawab. “Kabar baik pak. Kami berdua ingin menyampaikan maksud kami, kami ingin pindah sekolah kalau hal ini memugkinkan.” Saya lanjutkan bicara saya dan disambung oleh teman saya Patahallah mengungkapkan keinginan kami.

Pembicaraan kami lancar, berjalan sebagaimana kami harapkan, tetapi punya persyaratan yang kami jadi tanda tanya, apakah halnya dapat kami penuhi, tetapi tekad dan semangat saya tidak urung. Apapun terjadi saya akan pindah sekolah, dari SMI ke SMP negeri. Satu-satunya SMP negeri sebelah selatan kota Palopo, Luwu waktu itu, SMP Negeri Belopa, itulah yang mumbuka filial di Suli.

Hari senin, beberapa bulan setelah kami bertamu kerumah pimpinan SMP neg. Filial di Suli, sesuai janji kami, kami akan minta surat pindah selaku persyaratan untuk pindah. Walau hanya kebijaksanaan pimpinan sekolah bersangkutan, karena sekolah swasta tidak boleh diterima pindah ke sekolah negeri.

Selesai upacara bendara pada hari senin pagi, saya dan teman saya, berdua menghadap. Kami berdua masuk dikantor pimpinan yang bernama pak Munasta (Sengaja menyingkat namanya). Setelah maksud kami, saya utarakan langsung dibentak. Ditolak permintaan kami. “Saya tidak beri surat pindah, kalau mau pindah, namanya saya coret merah sekarang.” Langsung  pimpinan minta daftar absen dari kelas III kelas kami berempat duduk.

“Sekarang saya tanya kalian sekali lagi, mau pindah atau namanya saya coret merah sekarang?” Demikian bicara sambil memegang daftas absensi nama murid.

“Saya mau pindah pak.” saya melihat kepada teman saya minta pendapatnya. Dia memperlihatkan sikap ragu, tetapi akhirnya dia menjawab, sama jawaban saya. “Saya mau pindah juga pak.”

Di depan mata kami, nama kami berdua diceret merah, dicoret dengan tinta merah. “Kalian saya keluarkan dari sekolah ini, dan kalian tidak akan dapat sekolah lagi di Luwu. Saya akan kirim surat kepada semua sekolah menengah disekitar sini, menyatakan kamu dikeluarkan dengan coret merah, artinya tidak boleh diterima masuk sekolah lagi.”

Kami tidak langsung tahu apa yang terjadi setelah kami tinggalkan sekolah. Tetapi kami langsung menemui pimpinan SMP Neg filial. Menyampaikan apa yang terjadi kepada kami akibat perlakuan kami minta surat pindah dengan hormat.

Kami tidak dapat diterima saat itu disekolah, disuruh kerumahnya pada sore hari, karena dia sementara bicara dengan beberapa guru perihal kami. Dia berjanji akan menyampaikan pendapat dewan guru terkait masalah kami, dirumah pada sore hari.

Kalau mereka setujui kami akan diterima, tetapi kalau ditolak para guru, kami tidak dapat lagi sekolah, sesuai ucapan pak Munasta.

Hari itu, kami berdua pergi keluyuran tidak tahu mau ke mana. Berselang dua jam kemudian, datanglah surat Pak Munasta, yang menegaskan jika kami tidak dapat langsung diterima di SMP Filial. Kami jadi terkatung-katung. Tetapi saya tidak mau lagi menghadap pimpinan SMI minta dimaafkan kesalahan, dan diterima kembali belajar. Tidak, pantang pisang berbua dua kali, pantang saya akan menjilat ludah.

Pembicaraan kami, kami berdua mesti non aktif 6 bulan, karena kami juga tidak ketinggalan pelajaran, kami sudah duduk di SMI sudah kelas III akan pindah ke SMP untuk duduk dikelas II , karena belum ada kelas tiganya.

Hari itu pula, kami singgah dirumah Patiara yang berdekatan rumah dengan Samsiar untuk mendengar kabar, gerangan apa yang terjadi setelah kami tinggalkan sekolah, sementara mereka upacara.

Ternyata upacara diadakan untuk melakukan intimidasi kepada murid agar jangan mencoba minta pindah ke sekolah SMP negeri. Dan diungkapkan kepada mereka apa yang terjadi pada diri kami berdua.

“Mereka tidak akan mungkin lagi mendapat sekolah di Daerah ini, mau kemana mereka. Pasti menyesal tetapi penyesalannya tidak berguna. Mereka saya keluarkan –coret merah namanya- berarti tidak akan diterima lagi disekolah ini.” Begitulah intimidasi yang dilakukan kepada pelajar teman-teman kami setelah kami pergi.

Enam bulan kami tidak ada kegiatan belajar, setiap bertemu teman sekolah kami, selalu kami diledeki, -pelarian yang tak sampai tujuan, kandas dijalanan, dan berbagai ejekan lainnya- kami pura-pura saja tidak tanggapi.

Namun, kami tidak beritahu mereka, apa yang akan kami lakukan setelah enam bulan mendatang. Kami berdua sengaja merahasiakan, halnya antara kami bertiga dengan pak Syafruddin pimpinan sekolah SMP Negeri Filial Suli.

Setelah sampai waktu yang disepakati, kami berdua menuju ke Suli dari Murante, ditengah-tengah teman bekas teman sepelajar kami di SMI, tanpa mengetahui kemana kami akan tuju. Kami membawa buku pelajaran, tetapi hanya sekedar simbol saja, karena kami belum tahu pelajaran apa yang akan kami ikuti hari bersangkutan.

“Kemana kalian pergi?” tanya salah seorang teman sekolah kami di sekolah lama.

“Pergi ke sekolah.” Jawabku singkat. ”Kami akan pergi ke SMP negeri, ini hari pertama kami sekolah di SMP. Kami berdua adalah murid baru.” Saya lihat seorang teman mencibir mulut, tanda tidak percaya.

Patahallah juga turut bicara, kendatipun mereka tidak satu orangpun yang nampaknya percaya ucapan kami. Tetapi akhirnya setelah kami sampai digedung sekolah SMP yang dilewati kalau ke SMI dari Murante, kami singgah kedalam pekerangan sekolah, baru mereka, ada yang melihat kepada kami dengan ekor mata. Tetapi yang lain, pura-pura sudah tidak mau tahu.

Beberapa hari kemudian di SMI, sesuai informasi dari Samsiar, kabar diterimanya kami berdua di sekolah negeri gempar, karena bertentangan janji pak Munasta kepada muridnya. Dua bulan kemudian Samsiar dan Patiara ikuti jejak kami. Mereka diterima juga, kami berempat belajar baik. Bulan Agutus beberapa bulan kemudian, saya ditunjuk ikut dalam tim cerdas tangkat dari SMP Filial Suli melawan SMI, di kesempatan lain melawan SMP Negeri Belopa, induk dari Suli.

Akhrinya saya tinggalkan SMP Negeri Filial Suli dengan kata sambutan yang menggugurkan air mata para guru, orang tua murid, apalagi sesama pelajar.

“Selamat tinggal sekolah, selamat tinggal orang tua kami, selamat tinggal sesama pelajar, -tiada pertemuan yang tidak diakhiri dengan perpisahan, kalau tidak mau berpisah lebih baik tidak bertemu. Karena bertemu dan berpisah ibarat dua  ujung tongkat yang selalu berlawanan arah.” (*)

 

Catatan penulis:

Kisah ini adalah nyata kejadian di tahun 1965 yang saya alami sendiri. Teman saya Patahallah saya dengar-dengar sudah tinggal di Sumatera, sementara dua teman wanita tinggal di Suli dan di Walenrang. Saat ini kami tidak ada kontak satu sama lain.

spot_img
spot_img
REKOMENDASI
Related News