Oleh: Bata Manurung
Melalui peringatan Hari Masyarakat Adat se Dunia yang di tandai dengan lahirnya Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada tanggal 13 September 2007 melalui Sidang Umum PBB di New York, Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat secara resmi disahkan.
Bagi Indonesia, Deklarasi ini sangat penting untuk diimplementasikan mengingat Pemerintah Indonesia adalah salah satu dari negera-negara yang menyetujui deklarasi tersebut. Banyak pihak mengucapkan selamat dan menyampaikan penghargaan serta pujian atas sikap Pemerintah Indonesia yang menyetujui Deklarasi ini.
Namun demikian, persetujuan Negara (Indonesia) atas Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat tersebut tidak memberikan makna apa apa, jika Deklarasi tersebut tidak diturunkan dalam aturan-aturan hukum nasional yang mencerminkan adanya kehendak yang kuat dari Negara (Indonesia) untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Untuk itulah, maka perayaan Hari Masyarakat Adat Se-Dunia atau the World’s Indigenous Peoples Day yang diperingati pada tanggal 9 Agustus setiap tahun dapat dijadikan momentum bagi masyarakat adat di seluruh nusantara untuk mengkonsolidasikan perjuangannya dalam rangka mendorong adanya pengakuan, penghormatan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Pada tahun 2010, Pemerintah Republik Indonesia melalui Program Legislasi Nasional 2010-2014 telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat adat menjadi salah satu RUU yang akan disepakati menjadi undang-undang. Dengan demikian cita-cita dari masyarakat adat di Indonesia yang selama ini telah disuarakan untuk mendapatkan perlindungan hukum semakin terbuka.
Selain itu, “bahwa peringatan hari masyarakat adat sedunia adalah momentum untuk mengingatkan kita bahwa Masyarakat Adat masih terus mengalami diskriminasi, marginalisasi, kemiskinan dan konflik yang parah; mereka tercerabut dari tanah dan kehidupan tradisionalnya, pemindahan paksa, penghancuran system kepercayaan mereka, budaya, bahasa dan cara hidup – dan bahkan ancaman terhadap kepunahan”.Realitas tersebut kini berlangsung di Indonesia. Disinilah menurut AMAN, kunci dari upaya penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan. Karena menguatnya isu disintegrasi diberbagai wilayah, sebagai satu persoalan dari krisis identitas dan menguatnya ethnosentrisme berpangkal dari model kebijakan yang diberlakukan. Negara menjadi fasilitator pembangunan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, merampas hak ulayat serta menggerus nilai-nilai kearifan local yang menjadi anutan bagi masyarakat adat. Kenyataan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat adat ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di komunitas-komunitas masyarakat adat di belahan bumi lainnya termasuk di wilayah Tana Luwu.
Situasi yang tidak menguntungkan masyarakat adat sebagaimana disebutkan di atas memunculkan kesadaran dari komunitas internasional untuk mendukung masyarakat adat dengan mengembangkan dan mempromosikan standard internasional yang secara teguh menghormati hak-hak asasi mereka; mengintegrasikannya ke dalam agenda pembangunan internasional, termasuk dalam Millenium
Kebijakan, program-program dan proyek-proyek pada level Negara; dan menguatkan kembali Masyarakat Adat terkait dengan upaya-upaya khusus seperti persoalan HAM Masyarakat Adat, tanah dan sumber daya alam, lingkungan hidup, REDD dan perubahan iklim serta persoalan-perosoalan lainnya.
Peta politik ekonomi Masyarakat Adat
Dengan “peta politik ekonomi” dan juga dengan berbagai perubahan substansi hukum dan tatanan politik di tingkat nasional, maka realitas baru yang harus dihadapi adalah bahwa sumber penindasan dan ekploitasi terhadap Masyarakat Adat sekarang, tidak lagi hanya di Jakarta sebagai ibukota negara dan di pusat-pusat kekuasaan rejim kapitalisme global, tetapi sudah mulai bersarang dan beranak-pinak di ibukota-ibukota kabupaten.
Kondisi baru ini harus menjadi dasar untuk “mengembalikan” akar gerakan Masyarakat Adat ini ke kampung-kampung, ke komunitas-komunitas adat yang sejatinya berdaulat, untuk kemudian membangun kekuatan utama gerakannya di ibukota kabupaten sebagai arena baru advokasi kebijakan yang paling strategis di era otonomi daerah saat ini.
Gerakan Masyarakat Adat menuju otonomi asli (kedaulatan?) sebagai bagian dari gerakan sosial harus memastikan bahwa sistem politik di era-otonomi daerah harus menganut demokrasi partisipatif (participatory democracy) yang menjamin keterlibatan langsung warga Masyarakat Adat dalam seluruh proses pembuatan kebijakan dan hukum yang mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung kehidupannya.
Posisi Masyarakat Adat
Dengan keyakinan bahwa perubahan mendasar hanya akan terjadi kalau dimulai dari “desa/kampung” maka posisi dan peran Masyarakat Adat/lokal menjadi sangat penting, yaitu antara lain dengan terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya politik lokal dan kearifan adat, menerapkan demokrasi yang partisipatif dalam pengambilan keputusan bersama di tingkat komunitas, dan menumbuh-suburkan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal untuk “merebut” hak politik komunitas adatnya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan bersama di kalangan Masyarakat Adat yang terkait dengan “posisi Masyarakat Adat terhadap negara, modal dan nilai-nilai baru”.
Dari kepemimpinan politik di tingkat komunitas inilah kemudian Masyarakat Adat memperkuat dirinya untuk memimpin perubahan pada tingkat yang lebih luas, khususnya di tingkat kabupaten, dan baru kemudian memasuki kembali arena advokasi di tingkat provinsi, nasional dan internasinal.
reformasi” tidak serta merta diikuti dengan perubahan kebijakan dan hukum yang berarti dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara ternyata tidak digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru.
Otonomi daerah dan Masyarakat Adat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi dengan kekuasaan yang kuat, boleh dikatakan belum melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Otonomi daerah merupakan tantangan paling nyata dan sangat kritis bagi Masyarakat Adat dalam mewujudkan kedaulatannya atas tanah dan sumberdaya alam lainnya. Dalam konteks ini maka Otonomi daerah baru mengatur sistem pemerintahan,belum cukup mengatur sistem pengurusan, sehingga belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat.
Belum ada kejelasan dan ketegasan
Dalam UU No. 22/1999, juga hasil revisinya UU No. 32/2004, belum ada kejelasan dan ketegasan sampai batas mana pemerintah boleh (punya wewnang) mengatur dan mengintervensi kedaulatan komunitas Masyarakat Adat. Akibat yang ditimbulkan kemudian adalah tumbuh-subur perilaku politik pengurasan sumberdaya hutan di kalangan elit politik daerah otonom, khususnya Bupati dan DPRD yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar.
Para Bupati dan DPRD berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya, diantaranya dengan pemberian ijin HPH (Hak Pengelolahan Hutan ,KP (Konsesi Petambangan) secara sembrono, dan sebagainya.
Masyarakat Adat dan sumberdaya alam
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD tidak otomatis mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam.
Sementara para Bupati sudah memiliki kewenangan yang besar sesuai dengan UU No. 32/1994 untuk mengeluarkan ijin IHPH dan IPK dll, di sisi lain DEPHUT — sebagai instansi teknis pemerintah pusat — masih tetap menggunakan UU No. 41 Tahun 1999 dan peraturan turunannya, yang kontroversial, untuk mempertahankan kepengurusannya yang mutlak (“kekuasaannya”) atas kawasan hutan, termasuk untuk memberi dan mencabut ijin HPH dll, serta pelepasan kawasan hutan untuk penggunaan lain.
Realitas ini menunjukkan bahwa “otonomi daerah” dalam pengurusan sumberdaya alam adalah penambahan wewenang pemerintah daerah tanpa mengurangi wewenang pemerintah pusat. Hal ini berarti bahwa dengan “otonomi daerah” maka pemerintah (daerah dan pusat) secara bersama-sama telah menambah wewenangnya untuk mengeluarkan ijin-ijin baru untuk mengeksploitasi sumberdaya alam, sementara kapasitas pemerintah sendiri untuk mengendalikan kegiatan tambahan dari ijin-ijin baru yang diberikan tetap sangat rendah.
Peningkatan jumlah dan jenis kegiatan eksplotasi sumberdaya alam yang demikian pesat yang tidak disertai dengan peningkatan kemampuan pengendalian atas berbagai kegiatan tersebut telah mendorong tumbuh suburnya praktek-praktek eksploitasi alam yang melanggar hukum nasional dan juga hukum adat di seluruh pelosok nusantara, termasuk juga di kawasan-kawasan konservasi, yang pada akhirnya semakin memperparah kondisi kerusakan lingkungan di Indonesia. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak akan pernah menjadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri Masyarakat Adat itu sendiri beserta habitatnya.
Masyarakat Adat Sedunia
Masyarakat Adat nusantara, umumnya Masyarakat Adat di seluruh dunia yang selalu pada posisi menjadi korban penindasan, penyingkiran dan penghisapan yang berkelanjutan oleh elit penguasa negara, didukung oleh para pedagang/pemodal yang menopangnya, membuat masyarakat di seluruh dunia merasa “senasib sepenanggungan” untuk besama-sama berjuang mendapatkan pengakuan dan hak-hak asal-usul yang melekat padanya mendapatkan pengakuan dan hak-hak asal-usul yang melekat padanya.
Hak-hak Masyarakat Adat dan hukum internasional
Perjuangan ini sejalan dengan adanya pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat dalam berbagai instrumen hukum internasional. Walaupun tidak secara khusus, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan budaya serta Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial telah menyuarakan hak-hak ini untuk Masyarakat Adat.
Pengakuan internasional terhadap hak-hak Masyarakat Adat ini kemudian semakin menguat dengan adanya Konvensi ILO 169 dan kemudian telah dituangkan dalam draft Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, yaitu antara lain:
- Hak untuk menentukan nasib sendiri.
- Hak untuk mewakili dirinya sendiri dalam perundingan dengan pihak lain melalui kepengurusan/kelembagaan adatnya.
- Hak untuk menjalankan hukum adatnya.
- Hak untuk memiliki, meguaasi dan mengelola tanah dan sumberdaya alamnya.
- Hak untuk mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Masyarakat Adat.
- Hak atas kekayaan intelektual.