Setiap ada hajatan politik, entah itu Pilpres, Pilgub, Pilbub/Pilwalkot dan Pilkades, atau Pileg sekali pun, selalu saja ada persaingan untuk berlomba-lomba mengejar dosa. Sangat paradoks dengan ajaran agama kita yang mengajarkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqul khaerat.
Ilmu Aristoteles mengatakan bahwa politik adalah sebuah usaha yang dilakukan setiap warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Di sini jelas, bahwa tujuan utama dari politik itu adalah kebaikan bersama. Nah, bagaimana bisa kebaikan bersama kita wujudkan dengan cara-cara “miring” seperti menebar fitnah?
Dosa selalu berjalan seirama dengan nyanyian fitnah yang meluncur dari mulut ke mulut. Berteriak lantang soal siapa benar siapa salah, kami benar kamu salah. Area perdebatan tidak sehat selalu menjadi arena paling asyik untuk saling menyerang, saling menghujat dengan kata-kata makian, fitnah, men-dzolimi satu sama lain. Kenapa pesta politik seperti Pilpres selalu kita jadikan arena untuk saling menghina, saling menghujat? Bukankah perbuatan itu adalah anjuran iblis laknatullah? Lalu, kenapa kita harus menyerupai tabiat mereka?
Kampanye Hitam. Model kampanye terburuk yang ada di dunia politik. Model kampanye ini lebih menitikberatkan pada upaya character assassination. Lebih banyak menyajikan FITNAH ketimbang FAKTA. Bagi saya, pelaku kampanye jenis ini adalah orang-orang yang tidak percaya diri, yang secara tidak langsung memberikan keuntungan ganda bagi rival politiknya. Pelaku kampanye hitam hanya bergerak pada area fantasi semata, tidak faktual, kesannya hanya menyebar hoax.
Kenapa kita tidak mau belajar dari kejadian masa lalu? Di mana kampanye hitam selalu berakhir dengan kekalahan. Masyarakat sekarang tidak mudah percaya dengan kabar yang kabur. Masyarakat nanti percaya jika ada bukti sahih yang bisa dijadikan referensi yang akurat, punya data valid. Kalau hanya sekadar membagikan kabar burung, bisa-bisa semua kabar itu akan terbang bersama burung-burung di angkasa luas tanpa bekas.
Lihatlah bagaimana Barrack Obama yang diserang dengan isu SARA bahwa ia adalah seorang muslim ketika terlibat dalam pertarungan Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Apakah rakyat di sana mengalihkan dukungannya kepada lawan politik Obama? Tentu tidak. Malah Obama terpilih kembali untuk kali kedua. Pada lingkup sedikit lebih kecil di Jakarta misalnya. Bagaimana seorang lelaki bernama Joko Widodo, yang berangkat dari bawah, mampu menapak jenjang karier birokrasi yang lebih tinggi menjadi seorang Gubernur.
Setali tiga uang dengan Obama, Jokowi juga diserang kampanye hitam, terkait soal keislamannya. Sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan si A begini dan si B begitu, jangan pernah berharap “tuah” dari kampanye hitam itu memihak Anda. Jokowi dengan gagah malah melenggang mulus menuju kursi Gubernur. Ingatlah wahai saudaraku, masyarakat kita adalah masyarakat yang sentimentil, mudah mengasihi dan menyayangi orang-orang yang terdzolimi. Sebaliknya, mereka sangat membenci orang-orang yang selalu mengabarkan berita yang tidak jelas.
Kampanye Negatif. Model kampanye jenis ini masih bisa diterima di panggung politik. Meski tujuan utamanya juga untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat agar memilih “aku”, bukan“dia”, tapi Negative Campaign tidak bisa juga disalahkan karena kampanye jenis ini masih menyajikan kabar yang faktual dan mengandung kebenaran karena ada fakta yang mengikutinya. Ketika Jokowi yang kini maju sebagai Capres berpasangan dengan Jusuf Kalla, diserang isu korupsi bus Transjakarta, diserang isu Capres boneka, dan ketika JK juga diserang isu “mahar” Rp 10 T kepada PDI-P, maka semua isu itu hanya bergerak pada ruang hampa karena tidak mengandung nilai-nilai kebenaran.
Pun dengan tuduhan kepada Prabowo Subianto, rival politik Jokowi, terkait isu penculikan dan isu kewarganegaraan. Semua masih dalam kategori kampanye hitam. Olehnya itu tidaklah elok menyerang mereka dengan isu-isu yang bisa malah kontra produktif. Kita ingin mewujudkan Pilpres yang aman, tertib, dan damai serta legitimate. Sebesar apa pun kadar kebencian kita kepada sosok si A atau si B, namun mereka adalah putra-putra bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Bagi saya, baik kampanye hitam maupun kampanye negatif, tidaklah elok kita pertontonkan kepada masyarakat. Mari kita memandang Pilpres kali ini sebagai sebuah kontestasi politik yang beretika, santun dan bermartabat.
Tiada guna menjadikan panggung Pilpres ini sebagai arena menumpuk dosa. Fitnah kiri-kanan, serangan dari segala penjuru mata angin untuk menjatuhkan satu sama lain yang tanpa kita sadari hanya menghabiskan energi kita sehingga rakyat tinggal menunggu saja siapa yang paling terdzolimi dari atraksi kampanye seperti itu. Jika rakyat sudah mendapatkan pihak mana yang paling terdzolimi, maka rakyat akan menjatuhkan pilihannya kepada pihak yang paling terdzolimi. Jangan kerdilkan pesta politik ini dengan sebuah pertarungan pragmatis, bukankah lebih baik bertarung ide/gagasan yang manfaatnya jauh lebih besar? (Lukman Hamarong)